Think in Love
Karya Melinda Adelia Jenita Werner
Part: 5.(Dia Pacarku)
"Arika! Akhirnya kamu sadar juga, nak! Mama sangat khawatir. Ayo, duduk dulu. Minum teh ini."
Aku menuruti semua yang Mama suruh. Diriku sedang ada di tempat tidur. Tubuhku agak lemah dan kepalaku sedikit berat. Dengan pelan aku melakukan posisi duduk sambil menyenderkan diri di bantal dengan bantuan Mama. Aku menerima teh yang Mama berikan, kemudian menyeruputnya. Rasanya manis dan hangat. Tubuhku kembali normal. Tapi, pikiranku serasa kosong, tak memikirkan apa-apa.
Mama memegang tanganku. Aku menoleh.
"Arika, kamu sudah mendingan?"
"Mama, sebenarnya tadi Arika kenapa?"
Mama membelalakkan matanya. Dia terkejut melihatku setelah mendengar pertanyaanku.
"Apa kamu lupa? Arika, tadi siang, Mama menyuruhmu memberikan catatan belanjaan kepada Andi di pasar. Kamu pergi ke pasar sama Lyfa. Lalu, kamu kembali bersama Andi dengan keadaanmu yang sedang pingsan. Andi sendiri yang membawamu sampai ke rumah tanpa bantuan orang lain. Mama sangat khawatir padamu. Kamu adalah putriku satu-satunya. Kamu harusnya hati-hati, Arika. Bahkan kamu pingsan sampai malam begini. Bagaimana Mama tidak khawatir padamu? Sebaiknya kamu tidur saja. Sudah malam, waktunya kamu istirahat. Letakkan saja cangkirnya di mejamu. Nanti Mama yang mengambilnya," kata Mama, kemudian mengelus rambutku dan mengecup keningku. "Selamat malam, nak."
Mama berjalan keluar dari kamar dan menutup pintu.
Kepalaku berusaha berjalan. Aku ingin mengingat cerita yang Mama ceritakan. Oh, ini gila! Apa aku memiliki penyakit Amnesia?
Ya, aku ingat. Aku ingat peristiwa itu. Ketika aku berlari ke pasar mencari Andi. Kemudian aku dikepung oleh dua orang preman dan Andi tiba-tiba datang kayak pahlawan kesiangan dan memberikan kedua preman itu pukulannya. Kedua preman itu takut dan pergi, karena Andi bisa melawan dan ancaman Andi. Aku memarahi Andi karena dia baru muncul. Aku pingsan di sana dan tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku hanya mengingat aroma tubuh seseorang.
Aku digendong Andi sampai menuju rumah. Itulah yang Mama ceritakan. Aku tidak tahu ingin bilang apa lagi, tapi aroma tubuh yang kuingat itu adalah aroma milik Andi. Dia menggendongku. Tentu saja aromanya tercium olehku, karena jarakku dengannya sudah tidak punya ukurannya. Tanpa kenal lelah, dia menggendongku sambil membawa barang belanjaan yang berat. Aku tidak percaya dia melakukan itu untukku. Dia orang baik.
Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan mengendap-endap sampai menuju pintu. Aku membuka pintu kamar dengan sangat pelan. Tidak ada suara yang tercipta di pintu kamarku. Aku keluar dari kamarku sambil melihat keadaan luar. Tidak ada tanda-tanda Mama beraktivitas. Mungkin ini sudah tengah malam. Semua tampak sepi.
Aku berjalan pelan ke pintu kamar Andi. Tanpa mengetuk pintu, aku membukanya.
"Lho? Mana dia?"
Dia tidak ada di kamarnya. Di mana dia sekarang? Kamar mandi? Atau di luar? Gak mungkin dia keluar. Mungkin dia di ruang makan.
Aku berjalan santai ke ruang makan, karena sudah jauh dari kamar Mama. Sebelum itu, aku sudah menengok kamar Mama. Mama sedang tidur nyenyak. Tidak perlu takut lagi untuk melangkah tanpa berjingkat-jingkat.
"Gak ada juga. Apa dia di kamar mandi? Tapi, lampunya tidak menyala. Kalau dia ada di luar, untuk apa dia keluar?"
Aku dengan penasaran melihat ke arah pintu depan. Kakiku berjalan dan berhenti tepat di depan jendela. Aku menengok keadaan luar. Kalau dia juga tidak ada di sana, di mana dia sebenarnya? Di atap rumah?
"Dia benar-benar ada di luar!" kataku pelan terkejut melihat sosok Andi sedang duduk di teras rumah. Ngapain dia duduk-duduk di luar?
Aku langsung menyambar gagang pintu dan membukanya. Mendengar suara pintu dibuka, Andi menoleh ke belakang.
"Arika! Sudah mendingan?" tanyanya ingin mengetahui keadaanku. Dia bangkit dan berdiri di hadapanku. "Arika, sebenarnya aku benar-benar tidak enak padamu. Semakin lama aku di sini, kamu semakin kesulitan, karena aku. Aku akan pulang saja, ke Bandung. Kalau itu yang kamu inginkan. Aku tidak ingin merepotkanmu dan Mama kamu. Tapi, aku senang tinggal di sini. Rasanya, aku tidak ingin pergi lagi. Berkat kamu mengajariku pelajaran IPA, aku lulus dengan nilai yang bagus. Tapi, aku tidak bisa lama-lama di sini. Aku hanya ingin kita bersama seperti dulu. Dan, aku ..."
Mungkin kalimatnya belum selesai. Aku tidak mengkritiknya dulu. Pandangannya tidak menentu, tapi, tatapannya lalu lekat ke arahku dan keseriusannya sampai terasa. Ada yang ingin dia katakan lagi.
"Aku minta maaf, tapi aku SUKA SAMA KAMU, FANELLIA!"
What?
Deg! Jantungku serasa ingin copot. Dia baru saja menyatakan perasaannya pada seseorang. Dan orang yang dicintainya itu adalah aku.
Aku!?
Bulu kudukku merinding. Bukannya aku baru saja merasakan hal ghaib. Aku terkejut dan menelan ludah mendengar semua yang dikatakan Andi. Rasanya aku ingi mendengarnya dari awal, tidak percaya mendengar sekali saja.
"Mungkin, sekarang kamu membenciku. Bahkan, bisa lebih dari benci. Aku jatuh cinta sama kamu saat kita masih kecil. Bilang saja aku payah atau kekanak-kanakan, tapi perasaan ini sungguhan. Sebut saja aku sinting atau bodoh, karena sudah jatuh cinta pada teman masa kecil sekaligus sepupuku sendiri. Aku sampai tidak bisa menghilangkan dirimu di dalam pikiranku. Saat aku melihatmu di sekolah, membuatku ingin menghampirimu. Tapi, aku terus dihalangi oleh Rindiani. Sampai akhirnya, aku bisa bicara padamu. Aku senang bisa bicara lagi padamu. Mungkin kamu sudah lupa tentang masa kecil kita, tapi, tidak apa-apa. Itu memang sudah lama, tapi aku masih ingat semuanya. Kamu telah menghiasi hidupku, Arika. Gara-gara kamu melukai jarimu sendiri, aku jadi seperti ini. Aku mencintaimu, Arika. Aku benar-benar sayang sama kamu."
Jujur, aku tidak tahu harus bilang apa setelah ditembak cowok. Lagi pula, ini pertama kalinya! Bagaimana cara menghadapi situasi macam ini? Apa aku harus mengambil adegan dari salah satu sinetron? Gak bakalan! Tapi, dia benar-benar menyatakan perasaannya padaku.
Wajahnya agak merah dan menatapku malu. Aku merasa malu dan jantungku berdegup tidak menentu. Apa ini rasanya setelah ditembak cowok? Aku tidak pernah merasakan perasaan ini. Aku merasa ingin melarikan diri dengan pesawat jet. Ini sulit. Aku pun sulit memandangnya. Ini aneh.
Merepotkan.
"A-aku tahu ini memalukan bagimu, tapi aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku lagi. Aku janji, aku akan- .. Ehh!"
Entah apa yang sebenarnya aku inginkan, atau aku yang sudah mengubah pikiranku sendiri. Aku memeluk Andi agak kasar, memotong kalimatnya. Dia banyak bicara. Dia membuatku tidak bisa membalas perkataannya. Dia sangat cerewet.
"Aku juga masih ingat semuanya," kataku, membuat Andi diam dipelukanku. "Kamu memberikanku plester luka untuk luka jariku. Aku memang ceroboh, membiarkan jariku menerima duri itu agar bunga itu bisa terlepas dari akarnya. Aku suka bunga bukan karena bentuknya, melainkan aromanya. Yah, kamu boleh heran kenapa aku suka menyendiri di taman itu dan main sendirian. Itu karena aku dijauhi oleh teman-temanku. Mereka membenciku tidak tahu kenapa. Aku sudah dibenci banyak orang dari kecil hingga sekarang. Apes memang, tapi aku tidak akan membuat pertemuan pertamaku denganmu itu hal yang buruk. Kamu adalah teman pertamaku di dalam hidupku. Aku sampai tidak percaya memiliki seorang teman yang setia ingin bermain denganku di taman setiap sore. Aku sangat senang, tapi tidak di hari perpisahan itu. Aku sangat sedih, karena aku kembali sendirian. Aku sangat berharap bisa bertemu denganmu lagi. Tapi, ingatanku tentangmu memudar seiring berjalannya waktu. Aku tidak mengingatnya dengan baik. Aku sangat bodoh. Melupakan temanku sendiri yang selalu mengingatku. Aku malu sekali. Kamulah yang harusnya membenciku sekarang, bukan aku."
Aku melepas pelukanku. Tapi, Andi menarik tanganku. Giliran dia yang memelukku. Tangan besarnya memegang kepalaku dan tangan yang satunya lagi masih memegang tanganku.
"Kamu masih ingat rupanya. Syukurlah. Aku sangat senang."
Dia melepas pelukannya. Tersenyum.
Aku masih bingung dengannya. Dia tadi menembakku. Oh iya, jawabanku.
JAWABANKU APA?
APA YANG HARUS AKU JAWAB???
"Andi Verannoa."
Mendengar nama panjangnya disebut, dia terlihat begitu terkejut. Mukanya merah.
"Arika! Nga-ngapain? Maksudku, dari mana kamu tau nama panjangku?"
"Aku tanya."
"Tanya dengan siapa?"
"Lyfa. Dia pasti tau nama panjangmu, makanya aku tanya. Kenapa juga kamu gak beritau nama panjangmu. Waktu itu, kamu langsung memberitau nama panggilanmu saja. Itu tidak adil, tau."
"Ukh! Soalnya, aku malu dengan nama belakangku."
"Kenapa harus malu? Keren, kok! Gak pasaran!"
"Pokoknya malu. Nama itu diambil dari nama Mamaku dan Papaku. Aku senang diberikan nama dari nama ortuku, tapi nama itu terkesan girly. Makanya aku tidak ingin memberitaukan nama panjangku."
"Gak terlalu girly amat kok, malah keren. Aku malah lebih suka nama belakangmu dari pada nama depanmu."
"Keren?"
"Ya. Nama itu sangat cocok untuk dirimu. Dan nama itu sangat langka. Oh iya, Lyfa tadi sore mau bicara sama kamu."
"Aku sudah bicara dengannya."
"Jadi, kamu bicara apa dengannya?"
"Kami bicara tentang kamu."
"Hah? Aku?"
Andi tersenyum. Senyumannya bersinar membuatku silau, tapi bukan silau cahaya yang dibayangkan. Dia tersenyum tidak biasanya.
"Ya. Dia memberitahuku apa saja tentang kamu yang dia ketahui."
"Apa? Untuk apaan? Kalian aneh banget."
"Misalnya, warna favoritmu, kegiatanmu di sekolah, de-el-el!" kata Andi dengan giginya yang terlihat karena tertawa sebentar. "Aku ingin lebih tau tentang Arika yang sekarang. Aku yakin aku bisa membuatmu bahagia. Aku sangat menginginkanmu. Jadi, aku terus mengejarmu. Mengumpulkan keberanianku untuk mengungkapkan perasaanku. Aku bisa mengungkapkannya. Malu banget, tapi masih gelisah, karena belum mendengar balasanmu, Arika."
Ya ampun.
"Aku ..."
Sumpah, aku bingung banget. Dan aku juga ikut gelisah, tapi ada yang aneh didiriku.
" ... aku ..."
Bodoh! Ayo cepat, Arika! Kenapa aku merasa tidak tenang? Kenapa ...
AKU MERASA MALU BEGINI??? MEMANGNYA AKU MAU JAWAB APA SIH???
" ... tidak ingin kamu pergi."
"Apa?" tanya Andi terkejut. Apa aku harus mengulanginya lagi?
"Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku lagi. Aku tidak mau. Kalau kamu ke Bandung, aku tidak bisa bertemu denganmu lagi, walaupun itu hanya beda provinsi. Aku tidak suka keluar provinsi. Pokoknya tidak boleh. Kamu harus tetap di sini. Berhentilah untuk berkata 'pergi'. Aku tidak mau kehilanganmu lagi. Jangan sampai terjadi lagi. Hiks!"
Air mataku keluar dengan sendirinya. Kenapa aku menangis? Apa ada yang sedih? Mungkin ada.
Aku menangis sambil berusaha menutupi air mataku dengan tangan. Aku tidak suka orang melihatku menangis. Aku benci disebut cengeng. Tapi yang ini tak bisa kutahan. Tidak bisa kukendalikan.
Andi mengajakku duduk. Aku memejamkan mata sambil mengeluarkan air mata. Aku malu melihat Andi yang sedang melihatku menangis.
Dia mengusap air mataku, membuatku membuka mata. Dia melihatku sedih.
"Maaf. Maafkan aku. Maafkan aku telah menbuatmu menderita, Arika, tolong maafkanlah aku. Aku membuatmu sedih. Aku tidak akan pergi. Tidak akan. Aku tak akan membiarkanmu sedih karena aku. Fanellia .."
Jarakku dengan Andi sangat dekat. Hampir 4 cm, dahinya bisa menyentuh dahiku. Kami menatap lekat tidak tahu maksud. Matanya seolah menarikku untuk tetap melihatnya. Detak jantungku semakin tidak beraturan. Ditambah kegelisahan yang kurasakan, tapi kenapa ... Aku tidak ingin berpaling?
Apa yang sedang dia lakukan?
Napasnya bisa kurasakan. Aroma tubuhnya membuatku tidak bisa menjauh, ditambah lagi .. ciumannya membuatku terhipnotis.
Bibirnya menyentuh bibirku yang tidak pernah memakai lipstik atau pelembab. Waktu seakan melambat. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya tertuju pada apa yang sedang aku hadapi. Dia sangat dekat denganku. Aku ingin waktu menghilang saja.
"Sial, kenapa kamu menciumku?" tanyaku kesal.
"Kalau tidak suka, kenapa tidak mendorongku?" tanyanya balik.
"Untuk apa aku mendorongmu?"
"Kan kamu tadi bilang .."
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Andi. Pipinya masih merah merona. Mungkin aku juga.
"Aku tidak ingin mendorongmu. Aku hanya tanya kenapa kamu menciumku?"
Aku sudah kerasukan sesuatu. Sesuatu yang awalnya aku benci. Ini kah rasanya? Atau hanya terbawa suasana? Tapi, darahku terasa mendidih. Aku sampai tidak bisa mengarahkan pandanganku ke arah lain.
"Karena kamu ingin aku di sini saja, aku tidak akan bisa menolaknya. Kamu menangisiku seperti anak kecil. Tapi untukku, dirimu adalah seorang gadis yang ingin aku dampingi. Ciuman pertamaku denganmu adalah tanda kesetiaanku. Aku akan membuatmu bahagia, aku tidak akan membuatmu kecewa. Sampai pada akhirnya."
Mulutku beku. Tapi, aku harus mengatakan sesuatu. Wajahnya benar-benar merah. Dia mungkin sudah malu dengan semua yang dia lakukan malam ini. Menembakku dan menciumku. Dia tidak bisa mengendalikan dirinya.
"Kamu mau jawabanku? Apa kamu yakin?"
Andi terkejut dan mengubah ekspresinya menjadi muram. Aku akan menjawab perasaannya. Mau tidak mau, dia harus menerima jawaban ini ...
... dan menuruti kata-kataku.
Tanganku yang sudah bertenaga menarik kerah baju Andi seperti mengajaknya berkelahi. Tapi, aku bukan mengajaknya berkelahi.
Aku menciumnya kasar. Dia terkejut dirinya dicium tiba-tiba. Tapi, Andi tidak berkutik. Dia diam diciumanku.
Aku menghentikan hal bodoh itu dan tetap menatap lekat Andi. Rasanya ingin tertawa, karena melihat cowok malu di depan mukaku. Sekarang, akulah yang paling ganas.
"Kamu adalah milikku sekarang. Sekarang, tidak ada yang bisa mengejarmu lagi, karena kamu menginginkanku, maka aku tidak akan bisa melepaskanmu. Dan, kalau kamu mencintaiku, aku tidak akan percaya itu. Kamu paham maksudku?"
Andi tersenyum sambil memegang erat kedua tanganku.
"Aku mengerti. Perasaanku padamu tidak bisa dipercaya, tapi aku tak bisa berpendapat kamu berbohong, karena kamu menjawab perasaanku dengan ciumanmu."
"Aku hanya tidak ingin berbohong dengan membuktikan jawabanku dengan tindakan untuk membuatmu percaya. Aku benar-benar benci ini, tapi aku tidak bisa bohong. Aku berubah pikiran. Agar aku percaya padamu, kamu hanya perlu mengikuti perkataanku. Jelas?"
"Jelas!" jawab Andi berseri-seri. Dia terlihat sangat senang.
"Mungkin aku akan memberitau yang pertama. Oke, yang pertama kamu tidak boleh menciumku lagi."
"Hah? Kenapa?" tanya Andi bingung.
Aku tersenyum. Sumpah, ini terjadi padaku. Aku benar-benar sudah bukan bocah lagi. Ternyata aku sudah besar. Aku harus memikirkan masa depanku.
"Akulah yang akan memberimu ciuman."
Terutama, masa depanku dengan pasangan hidup yang kupilih.
"Cintaku, Verannoa."
Diriku telah tertelan mabuk cinta. Memikirkan tentang cinta tidak terlalu buruk dari apa yang aku bayangkan.
Andi tersenyum sambil memegang wajahku. Hahahaha, wajahnya masih merah.
"Cintaku, Fanellia."
***
Epilog.
Aku tahu betul dia. Dia adalah gadis yang sangat berbeda dari pada gadis lainnya. Hanya dia yang bisa membuatku sebahagia ini. Saat bersamanya, aku sangat berharap waktu bisa berhenti. Aku seperti merasakan waktu berhenti saat melihatnya.
Waktu dia kecil dan waktu dia yang sekarang, rasanya tidak ada yang beda padanya. Dia tetap seorang gadis yang tidak terlalu suka menonjolkan dirinya. Dia tidak terlalu banyak teman. Sifatnya sama saja, semaunya. Hahaha.
Menurutku, dia ganas terhadap suatu hal. Dia saja tidak mengizinkanku untuk menciumnya dan membiarkannya menciumku. Benar-benar tidak adil, tapi aku harus menurutinya.
Untuk cintaku, apapun yang membuatmu bahagia, aku juga ikut merasa bahagia.
Ya, sudah sangat jelas. Aku pacaran dengan Arika. Tapi, gak kayak biasanya orang pacaran. Kami melakukan aktivitas seperti biasanya. Bangun tidur, mandi bergantian, sarapan seperti biasa, dan nonton TV seperti biasa. Gak ada yang perlu dibahas dalam hubunganku dengan Arika. Dia juga memperlakukanku seperti biasa.
Tapi, ada satu yang membuat beda.
"Hei! Ngapain kamu ke kamarku dan tiduran di kasurku? Cepat keluar dari kamarku! Mesum!"
Arika ngambek melihat isi kamarnya menemukan diriku tersembunyi di selimut yang dipenuhi oleh aroma Arika. Aku tidak ingin pergi.
"Oh ya? Kamu ingin aku pergi dari kamarmu? Hm bagaimana ..."
Aku menarik tangan Arika menuju kasur. Kemudian memegang wajah Arika.
" ... kalau aku tidak mau pergi?"
"Apa? Kamu mau tidur denganku lagi? Hei, kebiasaanmu ini menjijikkan. Mau aku lapor ke Mamaku?"
"Aku sudah minta izin dengan Mamamu, lho."
"Apa? Yang benar saja!"
Jarak wajahku dengannya semakin dekat. Matanya yang menatap lekat dengan wajah merah membuatku ingin segera menikahinya. Tapi, masa sekolahku masih panjang. Aku harus sabar.
"Apa kamu ingin menciumku?"
"Oh, ayolah, ini sudah larut banget. Aku mau tidur. Ya sudah kamu tidur aja di sini. Awas macam-macam saat aku tidur."
Aku tertawa. "Iya, sayang."
"Cih!" kesalnya.
Dia memejamkan mata. Mungkin dia sudah sangat mengantuk.
Aku ikut memejamkan mataku. Tapi, tiba-tiba saja ada sesuatu mendarat di bibirku. Napas dan bibir itu membuatku tidak ingin menolak.
"Arika?"
Ku lihat, gadis yang sedang mencintaiku itu tersenyum dengan mata tidak mengantuk. Dia bangun dan kedua tangannya memegang wajahku. Rambutnya yang sudah semakin panjang menyentuh kasur dan sedikit mengenai dahi dan telingaku. Aku masih gugup berhadapan beberapa centi dengannya. Entah bagaimana dia bisa membereskan rasa gugupnya. Dia tidak bisa ditebak.
"I love you, Andi."
***
Nantikan bonusnya, ya!!^^
Profil dan Lainnya
Wajar, apapun yang terjadi padanya, Melinda Adelia yang satu ini selalu memikirkan karya-karya selanjutnya yang akan ia tulis. Mulai dari fantasi sampai romantis, walaupun ia masih jomblo parah alias tidak pernah punya pacar satu pun. Cerpen ini special, karena akan dibuat Bonus Cerpen. Penasaran apa isinya? Apa ya?
Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)