Think in Love
Karya Melinda Adelia Jenita Werner
Part : 4.(Masa Kecilku)
SMA.
Ya, SMA. Siapa yang tidak kenal dengan tiga huruf itu? 'Sekolah Menengah Atas'. Kamu akan bisa ke sana setelah melewati ratusan rintangan di SMP. Sebelum itu pun, kamu harus menghabiskan waktumu di SD selama 6 tahun.
Capek memang. Tapi, itu akan menjadi cobaan yang mudah jika kamu melewati itu dengan baik dan sabar. Ya, sabar adalah kekuatannya. Dan kalau tidak ada itu, kamu akan kacau. Selain kacau, kamu akan merasakan kebosanan yang amat luar biasa. Ditambah PR dan Ujian berturut-turut, mungkin otakmu akan keluar dari kepalamu dengan sendirinya. Tapi, aku jamin itu tidak akan terjadi. Aku bercanda, dan aku bukannya mempermasalahkan itu.
Aku akhirnya lulus dari SMP. Aku akan melanjutkan sekolahku di SMA. Tapi, menyedihkannya, aku harus melewati hari-hari libur panjang. 3 bulan. Aku akan BOSAN TOTAL!!
Mungkin wajahku akan menua sepuluh kali lipat lebih cepat. Bosan adalah sebuah kata yang sangat-sangat aku benci. Kalau bisa, aku ingin menghapus kata itu dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi, mana mungkin aku bisa menghapusnya. Aku hanya akan meng-tipex kamusku sendiri dan menganggap kata itu musnah dari dunia ini. Tapi, tetap saja tidak ada hasilnya. Semua masih sama saja.
"Mungkin ada sesuatu yang kurang darimu. Kamu harus sadar akan hal itu. Itulah yang membuatmu merasa bosan setiap detik hidupmu, Fanellia Arrikia Kabrana!"
Aku menghela napas. Aku tahu, cewek yang sedang duduk di sampingku sambil memakan snack-ku ini terus saja menyebut nama panjangku. Mungkin dia nge-fans sama aku, tapi dia tidak mengakuinya. Dia temanku, teman satu sekolah SMP. Dia tidak satu sekolah SMA denganku. Dia masuk ke sekolah SMA khusus perempuan.
"Hei, Titania Lyfatmara, apa maksudmu? Selain itu, berhenti memakan snack-ku! Itu punyaku! Kembalikan!" balasku sambil merebut snack jagung itu dari tangannya. Tangannya menjauhkan snack itu dengan lincah.
Lyfa tersenyum angkuh. "Aku kan, sedang berusaha membantumu. Apa kamu tidak sadar juga?"
Aku menatap aneh. "Hentikan ini, Lyfa. Aku sudah capek. Lebih baik aku tidur siang daripada ngobrol gak jelas denganmu di teras rumahku. Kamu balik aja, deh!"
Lyfa bangkit dari duduk santainya. Bajunya hari ini berlengan pendek dan celana jeans sepaha. Kulitnya putih, rambutnya terkucir satu, dan memakai kacamata lebay. Maksudku, kacamatanya itu lebar dan berwarna pink. Makanya aku menyebut benda itu lebay. Dia melepas kacamatanya, kemudian mengangkat snack itu ke atas. Aku ternganga.
"Arika, dengar, ya! Aku Titania Lyfatmara, umurku 16 tahun, zodiak Aries, status jomblo, sahabat satu namanya Arika, dia masih jomblo alias JONES! Aku ini sedang berusaha menyadarkan sahabatnya untuk segera melepas status jonesnya menjadi status BERPACARAN!" seru Lyfa setengah berteriak.
Aku langsung berdiri menghampirinya cepat, lalu menutup mulutnya dengan tanganku.
"Lyfa! Tidakkah kamu berpikir dulu sebelum mengeluarkan pidatomu? Bagaimana jika ada yang mendengarnya? Mereka pasti akan bilang kalau aku punya orang yang berisik di rumahku. Aku tidak ingin itu terjadi dan hentikan omong kosongmu ini, Lyfa. Kamu membuatku tambah bosan. Percuma saja kamu membujukku. Aku pun juga tidak akan mengubah statusku itu menjadi 'berpacaran'. Kamu dengar itu? TIDAK AKAN!"
Lyfa memasang kacamatanya kembali, mendorongku untuk duduk kembali. Aku duduk dengan wajah muram. Lyfa tersenyum dengan bumbu snack jagung yang menempel di bibirnya.
"Oh iya, mana Andi? Aku ingin bertemu dengannya," seru Lyfa.
"Dia disuruh Mamaku membeli ikan di pasar. Untuk apa juga kamu menemuinya," jawabku sambil merampas snack dari tangannya lagi. Kali ini berhasil. Tapi, aku cemberut, karena ternyata isinya sisa satu.
Aku sudah cerita tentang Andi pada Lyfa kalau Andi adalah sepupuku. Lyfa terkejut dan hampir tidak percaya. Untuk membuatnya percaya, aku membuktikannya dengan bicara langsung dengan Andi. Dia pun percaya.
"Ada yang harus aku bicarakan padanya. Sebelum itu, aku harus bicara padamu dulu."
"Apa itu?"
Lyfa tersenyum lebar. Dia mendekatkan diri. Menatapku lekat dengan mata berbinar. Aku bingung melihatnya.
"Bagaimana rasanya tinggal serumah dengab cowok? Nyaman? Atau ... berbeda? Menyenangkan?"
Aku menepuk dahi. Pertanyaan macam apa itu? Dia memberikanku pertanyaan konyol bertubi-tubi, membuatku pening.
"Apa aku harus menjawabnya?" tanyaku balik. Lyfa mengangguk mantap. Aku menatap aneh.
"Agak beda. Tapi, aku masih bisa tenang, meskipun kamar mandiku sering dia pakai lebih dulu setiap paginya."
"Apa? Dia memakai KAMAR MANDIMU???" tanya Lyfa histeris. Dia memegang mukanya seraya membuka mulut lebar-lebar.
"Kenapa?" Aku bingung tidak tahu maksud dari alasannya dia terkejut.
"Hahahahaha! Hebat kamu, Rik! Romantis banget kalian! The best, deh! Aku dukung kamu, Rik, pasti sebentar lagi kalian bakal jadian."
Aku ternganga lagi tidak tahu apa yang harus aku katakan. Bukannya aku tidak mengerti, melainkan Lyfa yang terlalu melebih-lebihkan keadaanku. Ya, biasa, Lyfa memang gitu orangnya. Mencerocos tidak menentu.
"Apanya yang romantis? Lagi pula, aku tidak pacaran dengannya. Dan kamu pasti udah tau kan, kalau aku ini anti banget sama cowok!" semburku cepat.
"Ya-ya-ya, aku tau kok. Dan suatu saat nanti, penyakit 'anti cowok' mu itu akan hilang, lalu, kamu mengambil kesempatan itu untuk mendekati Andi. Kemudian, kalian pacaran dan saling mencintai satu sama lain! Hahahahaha!!"
Lyfa semakin menjadi-jadi seolah dia seperti baru saja berhasil menciptakan sesuatu yang akan membuat dunia terguncang.
"Gila, ya??" tanyaku, tidak bisa berpikir lagi apa yang harus aku balas. Satu pertanyaan itu membuatku puas, karena Lyfa terdiam dengan wajah masam.
"Arika!" teriak Mama dari dalam rumah.
"Iya, Ma??" balasku berteriak.
Mama keluar dari rumah, menghampiriku dengan langkah cepat sambil membawa secarik kertas di tangannya.
"Mama lupa memberikan ini padanya. Tapi, Mama sudah memberitahu apa saja yang harus dibeli," jelas Mama sambil memberikan secarik kertas itu. Kertas itu berisi tulisan barang-barang yang harus dibeli. Catatan belanjaan.
"Ini cukup banyak. Harusnya Mama juga menyuruh Arika untuk berbelanja di pasar. Lagi pula, Andi baru aja pindah ke sini. Pasti dia sedang bingung. Oke, Ma, Arika akan segera memberikan ini padanya!"
Aku langsung memakai sepatu dan pergi dari rumah. Lyfa mengikutiku, sebelum itu dia pamit pada Mamaku.
"Arika, pelan-pelan jalannya!" teriak Lyfa di belakangku. Aku menoleh.
"Tidak bisa! Aku buru-buru, Lyfa! Kamu tidak perlu menemaniku, aku bisa sendiri, kok!" balasku juga berteriak.
"Aku akan segera menyusul," kata Lyfa menghentikan larinya. Dia tampak ngos-ngosan. Aku tertawa melihatnya.
Pasar. Ya, pasar cukup jauh dari rumahku. Aku tidak tahu apakah Andi memakai alat transportasi untuk ke pasar atau tidak. Tapi, sepertinya kalau aku berlari sampai tujuan, aku akan sampai dalam waktu yang singkat. Aku kan, jago kalau soal berlari.
Akhirnya aku sampai di pasar. Aku menghabiskan waktu 10 menit. Aku kelelahan. Mataku lincah mencari tempat duduk. Tapi, tidak ada satupun tempat duduk yang nongol.
"Duh! Ini bukannya untuk mencari tempat duduk! Aku harus mencari Andi!" kataku sambil menepuk dahiku dua kali. "Tapi, dia di mana sih? Mana di sini banyak banget orangnya, gimana caranya aku bisa menemukannya di tempat seperti ini?"
Aku berjalan sampai masuk ke dalam lorong pasar tempat semua penjual menjual ikan segar. Tapi, aku tidak suka bau ikan mentah. Rasanya mual dan ingin muntah. Sebelum sampai di sana, aku mendapat pesan BBM dari Lyfa kalau dia melihat Andi di lorong ikan. Dia memanggil Andi, tapi Andi tidak mendengar. Aku langsung saja ke sana dan ternyata dia tidak ada. Aku kesal sambil keluar dari lorong ikan itu seraya menutup hidung.
"Apa aku harus teriak namanya di sini? Aku sudah lelah di sini! Ukh!" keluhku.
Udara segar menghampiriku setelah keluar dari bau ikan. Tapi, di mana Andi sekarang? Apa aku perlu mengelilingi pasar ini??
Kepalaku pusing. Suhu tubuhku rasanya tidak normal. Kakiku rasanya tidak kuat untuk berjalan.
Tiba-tiba, dua preman dengan tampang seram menghampiriku dengan langkah lebar. Baju mereka pun beda dari orang lainya. Baju hitam dan jeans biru robek. Mereka sudah pasti ingin mencari masalah.Mereka mengajakku ke suatu tempat dan mereka menjamin aku tidak akan rugi di sana. Mereka lalu tertawa-tawa, membuatku kesal. Aku ingin sekali menghajar mereka, tapi tanganku entah kenapa merasa lemah. Kakiku juga tidak kuat melangkah. Energiku hampir habis.
"Heh! Kalian berdua ingin apa dariku? Menjualku? Menjadi pelayan setia kalian? Jangan berkhayal, ya! Kalian jelek dan bau tidak akan bisa didekati oleh para wanita! Mandi sana! Cowok menjijikkan kayak kalian tidak pantas bicara dan menyentuhku! Tidak sopan!" kataku dengan keras.
Mereka menampakkan ekspresi tidak menyenangkan. Tampang mereka semakin tidak enak dilihat. Makin jijik aja.
Mereka mencengkeram tanganku kuat membuatku tidak bisa berbuat apa-apa. Pergelangan tanganku mulai sakit. Kini kepalaku sangat pusing. Kekebalan tubuhku menipis. Apa yang aku lakukan hanya berusaha melepaskan diri.
Tiba-tiba ada yang memukul mereka dari belakang menggunakan kantong plastik yang dipenuhi barang belanjaan. Mereka mengaduh sambil membalikkan badan.
Aku terkejut. Seorang cowok menatap penuh kemarahan pada kedua preman itu sambil membawa banyak belanjaan di tangannya. Wajahnya sudah tidak asing lagi untukku. Orang-orang yang awalnya mengabaikanku dikepung dua preman, kini sedang menonton kami. Jujur, aku tidak suka ditonton. Lebih baik mereka abaikan saja seperti tadi.
ANDI!
Sinting banget nih cowok, lagi dicariin ke mana mana .. Ehh! Nongolnya pas aku lagi kesusahan. Duh, sabar.
"Lepasin dia! Kalian gak berhak ngelakuin seorang cewek seperti itu!" perintah Andi keras di depan umum.
Kedua preman itu saling pandang, kemudian mengangguk. Sepakat untuk memukuli Andi. Tapi, tidak sempat. Andi dengan sigap meninju wajah dan perut kedua preman itu. Keduanya terjatuh ke tanah.
"Pergi! Sebelum aku menelpon polisi!" ancam Andi seraya mengeluarkan HP nya. Ternyata dia punya HP bermerek Oppo. Lumayan keren, lah. Eh? Kenapa aku membahas HP nya? Bego amat lah.
Mereka berdua bangkit dan berlari terbirit-birit menjauh pergi. Gak nyangkah Andi bisa juga galak. Aku gak pernah lihat Andi marah. Sekarang baru lihat.
Dia membalikkan badannya. Melihatku yang sedang berdiri mematung. Lalu menghampiriku.
"Arika, kamu gak pa-pa? Dan, ngapain kamu di sini?" tanyanya.
"ANDI! Ke mana aja sih! Kamu aku cariin dari tadi, baru sekarang kamu nongolnya! Setengah jam aku mencarimu!" bentakku kasar, membuat Andi kaget dan menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku. Tapi, ada apa?"
"Aku disuruh Mama memberikanmu ini."
Aku menyodorkan secarik kertas yang kubawa. Andi menerima kertas itu dan membacanya. Setelah membaca sambil melihat-lihat barang belanjaannya, dia tersenyum.
"Sudah semuanya."
"Apa?"
"Semuanya sudah aku beli sesuai dicacatan belanjaan."
"Yang benar? Coba dicek lagi!"
Andi menuruti apa yang aku suruh. Beberapa menit kemudian, dia kembali menjawab hal yang sama.
"Semuanya sudah dibeli tanpa ada yang terlupakan," kata Andi kemudian.
Mulutku menganga. Rasa kecewaku dicampur dengan amarah menjadi satu. Sekarang, aku sudah benar-benar capek. Ini melelahkan. Hari liburan sekolahku dihabiskan dengan Andi yang selalu saja membuatku kerepotan. Ditambah rasa sesak di pasar dan bau ikan mentah masih ingat dipenciumanku.
"Oh, ya udah," kataku datar sambil menerima kenyataan. Oh, aku benar-benar lelah! "Ayo kita pulang. Mungkin Mamaku sedang cemas," tambahku cepat.
Aku ingin mengambil langkah, tapi tiba-tiba saja tubuhku enggan bergerak. Rasanya lemah. Penglihatanku pun mulai mengabur. Aku tidak tahu kenapa.
"Arika!" Andi menyebut namaku sambil memegang punggung dan pundakku. Kenapa dia? "Kamu baik-baik saja? Arika, mukamu pucat!"
Andi melihatku panik. Mungkin dia benar, mukaku pucat. Aku hanya merasakan kepalaku pusing dan itu sangat tidak enak, ditambah berat badanku seperti bertambah. Berat itu membuatku tidak tahan untuk berdiri.
"Andi ..." suaraku terdengar parau dan lemah. Aku tidak bisa bicara, seperti ada sesuatu yang menahanku untuk melakukan apapun.
Penglihatanku melemah. Tapi, aku masih bisa melihat Andi menampakkan wajah khawatirnya. Kemudian, aku menutup mataku, karena tidak tahan untuk membukanya. Namun, aku masih bisa mendengarkan suara-suara di sekitarku. Begitu ramai. Tubuhku merasa diangkat dan mencium sebuah aroma, yaitu aroma parfum yang tidak menyengat dan tidak terlalu mencolok. Tapi, ada sedikit bau keringat tercium.
Meskipun begitu, bau keringat itu tidak mengganggu hidungku. Aroma parfum dan bau keringat itu seakan bersahabat. Aku pernah menemui aroma ini sebelumnya.
Tubuhnya yang menyentuh sebagian tubuhku, aroma unik, dan bau napas cowok. Dia sedang menggendongku.
Andi.
***
Aku membelalakkan mata tidak percaya. Berkali-kali aku mengucek mataku, hasilnya sama saja. Tidak ada yang berubah dari apa yang aku lihat. Ini seperti adegan di film.
___
Aku melihat seorang anak kecil berusia 6 tahun sedang bermain sendiri di taman. Dia masih memakai baju seragam TK-nya. Dia sering menghabiskan waktunya di taman, tapi dia tidak punya teman. Gadis kecil itu melihat sebuah bunga tumbuh, tapi berduri. Dia tidak peduli dengan duri itu. Tangan kecilnya menarik batang bunga itu untuk berpisah pada akarnya. Tapi, usahanya gagal, karena ada sesuatu yang membuat jari manisnya sakit. Rupanya jarinya mengenai duri dari bunga itu. Jarinya berdarah. Dia menangis.
"Hei, kau kenapa menangis?" tanya seorang anak laki-laki seumurannya sambil berlari ke arah gadis kecil itu. "Kenapa juga kau menyentuh durinya." Dia memegang tangan gadis kecil itu dan melihat goresan dari duri bunga.
"Karena aku suka bunga!" sahut gadis kecil itu sambil tetap menangis.
Anak itu membawa gadis kecil itu duduk di ayunan. Dia mengeluarkan sebuah botol air mineral dari dalam tasnya, kemudian menumpahkannya sedikit ke luka gadis kecil itu agar tidak terinfeksi. Tangisan gadis kecil itu berkurang.
Setelah itu, dia mengelapnya dengan hati-hati dengan kain, lalu menutup luka itu dengan plester luka. Plester itu bergambar hati lucu. Gadis kecil itu terpukau melihat jarinya sudah tidak berdarah lagi.
"Makasih!" ucap gadis kecil kembali cerah dengan senyum manisnya. Anak laki-laki itu tersenyum lebar.
"Sama-sama! Namamu siapa?"
"Fanellia Arrikia Kabrana!"
"Namamu panjang banget!"
"Iya! Mamaku yang memberikannya. Aku suka namaku."
"Apa aku boleh memanggilmu Fanellia?"
"Ya! Namamu?"
"Panggil aja aku Andi."
"Andi. Namamu keren!"
"Hahaha, makasih!"
"Andi, kenapa kau ingin berteman denganku? Kenapa kau menolongku?"
"Kenapa harus ditanya?"
"Apa maksudmu?"
"Aku ..." dia berjalan ke belakang, mendorong ayunan yang gadis kecil itu duduki. Gadis itu tertawa-tawa senang. " ... ingin bersamamu!"
"Kenapa? Kau ... tidak membenciku?"
"Kenapa aku harus membencimu? Kau kan anak baik. Lagi pula, aku tertarik padamu. Aku ingin main denganmu. Dan aku tidak akan membiarkanmu sendirian di sini. Aku ingin berteman denganmu."
Mereka akhirnya berteman. Bermain dan tertawa. Mereka cepat akrab dan tahu kalau mereka ternyata ...
___
Apa ini yang namanya kembali ke 'masa lalu'? Kenapa aku menonton DIRIKU SENDIRI? Itu memalukan! Dan, aku ingat. Ingatan masa kecilku sudah tersusun rapi dan lengkap di dalam memoriku.
Andi adalah teman baik masa kecilku. Kami selalu main bersama dan menghabiskan waktu di taman. Dipikiran kami hanya 'main' saja karena masih kecil. Aku bisa merasakan perasaanku saat mendapatkan teman saat itu. Rasanya senang. Lebih seru dari pada main sendirian. Dan juga, aku ingin selalu bersamanya. Menghabiskan waktu bersama. Menikmati canda tawa.
Tapi, kenapa Tuhan mengambil ingatanku tentang Andi? Pada saat aku tidak tahu apa-apa lagi tentang Andi, tiba-tiba dia datang di kehidupanku. Menurutku yang sekarang, dia itu sangat mengganggu, pacar dari musuhku, merepotkan, dan cerewet. Aku tidak berharap punya sepupu seperti dia. Seharusnya dia juga musuhku. Kemudian, Tuhan mengembalikkan ingatanku tentang Andi. Semuanya. Aku sudah ingat semuanya. Aku bahkan tahu apa makanan kesukaannya, permainan kesukaannya, wajah lucunya waktu kecil, dan kadang dia suka mengacak-acak rambutku sambil berkomentar tentang wajahku. Dia bilang, aku lucu. Lucu? Yah, aku memang sering dibilang lucu. Kenapa, ya?
Aku tidak tahu berada di mana sekarang. Aku pun tidak tahu apakah aku sudah mati atau belum. Aku tidak mengingat apa yang aku lakukan sebelumnya. Andi. Aku ingin bertemu dengannya.
Andi, di mana kamu?
***
Profil dan Lainnya
Cinta itu bisa datang sendiri tanpa mengetuk pintu. Tapi, kamu akan sadar kalau cinta datang diam-diam, bukan mengendap-endap masuk ke dalam dirimu. Cinta bisa membutakanmu, karena itulah cinta lebih suka datang diam-diam tanpa memberitahu dulu.
Fb: Melinda Adelia Jenita
Di tunggu kelanjutan kisah Arika♡
Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)