Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Welcome to KCRdA weblog | take parcitipate with us | read stories | comment | send stories

Minggu, 14 Februari 2016

Think In Love - Part 3

Think In Love
Karya Melinda Adelia Jenita Werner

Part: 3 (Tawa dan Tangisnya)
“Arika!”
Mataku lincah membaca buku IPA yang aku bawa. Angin pagi yang sejuk, cuaca pagi yang dingin, dan bunga-bunga semakin banyak bermekaran di dekat tempat tinggalku. Dalam semua itu, ada sesuatu yang membuat berbeda di pagi ini. Sesosok yang membuatku agak terganggu dengan keberadaannya. Selalu sibuk menyebut namaku. Yang paling parah, dia sekarang berada di sampingku.


“Arika! Arika!” Dia masih terus menyebut namaku, suaranya semakin keras ditelingaku.
“ Apa sih??” Tanyaku kemudian karena sudah tidak tahan mendengarnya memanggil namaku. Sungguh menyebalkan.
Matanya melihat ke mataku dengan mata yang berbinar. “Arika, kenapa kita tidak naik sepeda? Biasanya kan kamu selalu pergi ke sekolah naik sepeda,”
Aku menghela napas panjang.“Hari ini aku tidak mood membawa sepedaku. Lagi pula, kenapa aku harus membawamu di belakangku??”
“Aku bisa kok mengendarai sepeda dan memboncengmu.”
“Jangan berkhayal, aku tidak suka dibonceng oleh siapapun.”
Aku hanya menghela napas panjang. Sesuatu yang berbeda hari ini adalah berangkat sekolah bersama seseorang yang ternyata orang itu adalah sepupuku. Menurutku tidak ada yang perlu dipikirkan selain mengingat materi IPA bab terakhir yang lumayan sulit diingat, tapi sekarang lumayan bagus. Ku lihat Andi terlihat tidak merasa ada beban yang menghalanginya untuk mengerti rumus Fisika yang tidak pernah dia mengerti, malah jadi sebaliknya. Itu karena berkatku mengajarinya dengan kesabaranku untuk bisa mengerti rumus-rumus Fisika itu membuat dirinya betah belajar denganku. Aku merasa senang. Tunggu dulu. Apa yang aku katakan. SENANG??? ENAK SAJA!
Hampir sampai di sekolah, aku mengingat lagi kembali pada pelajaran IPA yang telah aku pelajari. Aku merasa ada yang aku lupa. Benar! Ada satu rumus yang aku lupa. Mulutku ingin bertanya kepada Andi, tapi aku urungkan. Aku tidak ingin bertanya dengannya. Diriku masih tidak suka akan kehadirannya di kota ini. Meskipun dia sepupuku, aku sama sekali tidak suka dekat-dekat dengan cowok.
Tiba-tiba dia melihat ekspresiku yang sepertinya berubah drastis. “Ada apa?”
Aku mengerutkan dahi. “Kenapa? Ada yang salah denganku?”
Andi menggeleng. “Kamu sepertinya sedang bingung. Ada yang sedang dipikirkan?”
Mataku seperti terkejut. Maksudnya, mataku terbuka lebar dari yang tadi karena terkejut. Dia menyadari kalau aku memang sedang bingung. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi, aku berusaha mencari jalan keluar.
“Ke-kenapa? Memang aku seperti orang bingung?”
“Tepat sekali.”
Aku menelan ludah.
“Katakan saja, Arika.” Dia tersenyum.
Ukh! Haruskah aku katakan? Oh, baiklah!
“Emm .. Sebenarnya aku lupa satu rumus kimia bab 12. Padahal aku ingin bertanya, tapi tidak jadi. Makanya aku memasang muka orang bingung,” jawabku tanpa salah kata sedikit pun.
Telingaku mendengar tertawa kecil yang khas, maksudnya itu unik. Dia tersenyum.
“Baiklah, Arika. Rumus kimia berjenis ini ......” Dia mulai menjelaskan. Aku dengan serius memahami apa yang dia jelaskan. Dan Juga sambil mengingat kata-kata yang dia jelaskan. Tidak boleh ada kata yang tertinggal, kecuali basa-basinya yang dia buat dengan sengaja agar dapat mengobrol lebih panjang denganku. Itu membuatku semakin mengantuk saja.
Akhirnya sampai di sekolah. Andi menoleh kearahku.
“Kamu kelas 9 apa?”
“ 9-B.”
“ Aku kelas 9-E.”
“ Baiklah, kita berpisah dulu.”
Aku berbalik badan lalu meninggalkannya, ingin segera masuk ke kelasku tanpa menunggu respon dari Andi. Aku pun masuk ke kelasku.
***
Sementara itu, di kelas 9-E ....
“Andi! Akhirnya kamu datang juga.”
“Pagi, Andi. Hari yang cerah.”
“Andi. Lama aku menunggumu. Aku mau tanya soal yang ini.”
“Andi!! Ini pulpenmu, terima kasih.”
“Andi! Maukah kamu menemaniku liburan ke pantai besok?”
“Andi! Aku butuh nomor telponmu!”
“Andi ....”
Baru langkah pertama memasuki kelas, Andi sudah dikepung oleh sebagian besar teman sekelasnya. Sisanya masih belum datang. Andi menghela napas.
“ANDI! AKU MAU BICARA DENGANMU EMPAT MATA!!”
Seorang gadis remaja membuka pintu kelas dengan keras membuat semua yang ada di dalam terkejut. Andi dengan tegang melihat gadis itu. Sementara yang lain berbisik-bisik.
“Eeh!! Kamu sudah dengar hubungan Andi dengan gadis itu?”
“Apa mereka mempunyai masalah?”
“Tidak mungkin! Mereka tidak mungkin jadian!!”
“Mereka itu sudah pacaran sangat lama, tapi tidak ada hal romantis yang dilakukan oleh mereka.”
“Itu MUSTAHIL.”
Terdengar bisikan mengenai gossip Andi dan gadis itu. Andi menundukkan kepalanya.
“Gadis itu kan ... Kalau tidak salah namanya RINDIANI EVTANIA!”
Andi menatap tajam kearah gadis itu.
“Ada perlu apa, Rindiani?” Andi mulai bersuara.
Rindiani tersenyum, tapi bukan senyuman bahagia, melainkan senyum licik.
“Andi, kenapa kamu sekarang menatap dan berkata kepadaku dengan dingin? Ada apa?”
“ ...” Andi tidak menjawab.
“Ikut aku sebentar.”
Rindiani menarik tangan Andi dengan paksa, keluar dari kelas. Yang lainnya melihat dari luar pintu saja, lalu kembali ke tempat duduk, melanjutkan kisah mereka tentang hubungan Andi dan Rindiani.
“ARIKA!” Teriak seseorang.
Aku menoleh. “Lyfa?”
Lyfa menghampiriku yang sedang duduk di kursiku sendiri. Wajahnya tersenyum manis. “Pagi.”
Aku menatapnya sebentar, lalu tersenyum, entah kenapa.
“Ya, pagi.”
Lyfa sepertinya ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi terlihat sulit.
“Emm ... Soal yang kemarenn ...”
“Sudahlah, Lyfa. Jangan pikirkan soal itu lagi. Lagipula, itu tidak penting.”
Lyfa tercengang. Tidak percaya apa yang aku katakan.
“Kamu marah?”
Aku hanya tersenyum kearahnya. Lyfa juga ikut tersenyum. Dia pasti tahu, kalau aku tidak marah padanya.
“Oh iya, Lyfa, aku masih belum membaca novelmu itu. Jadi aku akan mengembalikannya setelah aku tuntas membacanya,” ucapku sebelum Lyfa kembali ketempat duduk. Lyfa mengacungkan jempol.
Aku kembali kebacaanku. Tapi, sepertinya aku melupakan sesuatu. Iya! Aku lupa mengunci loker sepatuku!!! Aku harus cepat sebelum ada yang jahil mengobrak-abrik loker sepatuku.
Aku segera berjalan ke pintu kelas.
“Kamu mau kemana, Arika?” Tanya Lyfa.
“Hanya sebentar, kok!” Sahutku, lalu keluar dari kelas.
Loker itu dekat dengan kelas 7-G. Hhh ... Jauh sekali.
“Hei. Suara berisik apa itu?” Gumamku mendengar suara yang tidak biasanya muncul di pagi ini. Suaranya tidak jauh di tempatku berdiri. Aku mulai penasaran. Tunggu dulu. Ingin mengunci loker sepatu, atau mencari suara berisik itu? Aku mulai bingung. Sebaiknya ... Mencari suara berisik itu dulu. Kalau suara itu sampai ke jam Ujian, aku bisa terganggu dan juga dengan yang lainnya.
Aku mulai melangkah mencari suara itu yang semakin berisik ditelinga. Dan ternyata itu .... MIRIP SUARA RINRIN.
Perasaanku mulai tidak enak. Aku berlari ketempat ramai itu. Ternyata Rinrin yang sedang menarik tangan seseorang ke suatu tempat sambil dilihat oleh banyak orang, termasuk aku. Sepertinya mereka ke ....
Aku tanpa berpikir panjang lagi, segera mengikuti mereka. Sampai mereka berhenti di suatu tempat. Ternyata benar, mereka berhenti di BELAKANG GEDUNG SEKOLAH.
Aku berusaha mengintip. Bukannya mengintip orang lagi mandi. Tapi mereka, Andi dan Rinrin. Apa yang mereka lakukan di tempat sunyi seperti ini.
Rinrin menyenderkan Andi di dinding dengan keras. Tunggu dulu. Aku ingat. Aku pernah diperlakukannya seperti itu. Sekarang, dia melakukan itu kepada orang lain. Kurang ajar!
“Eh! Lo berani sekali mempermalukanku di depan orang banyak!!” Katanya agak keras di depan wajah Andi.
"Memang kamu pantas untuk dipermalukan," gumamku menyahut kalimatnya.
Andi tidak berkata apa-apa, diam dengan mata yang tertutup dengan rambutnya sendiri. Rinrin geram melihatnya.
Tanganku dengan sendirinya mengepal kuat. Aku tidak tahan melihat wajah perempuan itu. Ingin rasanya aku pukul sampai kecantikkannya itu hilang! Tunggu. Aku melihat sesuatu ditangan kanannya. Apa jangan-jangan dia ingin .... Tidak mungkin. Itu tidak akan terjadi!
“Lo harus menerima sedikit pelajaran dari gue!!”
Apa yang ingin dia lakukan?
Astaga.
Aku melihat tangannya memegang tongkat besbol yang terbuat dari besi. Sepertinya dia mengambil benda itu di gudang sekolah. Benda itu sangat berbahaya, bisa membuat orang yang memakainya juga terluka. Tapi, aku tidak peduli pada orang yang memegangnya sekarang. Namun, apa yang akan dia lakukan dengan tongkat besbol itu?
Rinrin segera mengayunkan tongkat besbolnya. Gadis tanpa berperasaan itu ingin membuat Andi babak belur. Apa yang sebenarnya yang dia inginkan? Wanita yang bodoh sekali!
Andi tetap diam tidak bergerak dan tidak merespon. Itu membuat Rinrin ingin secepatnya memukulnya habis-habisan.
“Hari ini kamu bersenang-senang sekali, Rinrin.”
Aku pun menampakkan diriku. Rinrin sangat terkejut mendengar itu, termasuk Andi. Tangannya tidak jadi mengayunkan besbol sialan itu. Syukurlah.
“Heh! Ngapain kamu kesini? Mau aku hajar juga?” Ucapnya.
Ternyata dia memang ingin menghajar Andi atau juga sampai terbunuh!! Awas kamu, Rinrin!!!
Aku dengan santai, menjawab. “ Tidak apa-apa. Hanya ingin lewat saja. Penasaran, apa yang kalian lakukan di tempat seperti ini. Berkelahi? Atau ... Belajar untuk ujian terakhir? Apapun itu, bukan urusanku.”
Rinrin memperkuat pegangan besbolnya. “Cih! Jangan sombong dulu, ya, FANELLIA!! Pasti tujuanmu kesini bukan untuk lewat!”
“Apapun itu yang kamu pikirkan, terserah kamu saja. Oh ya, itu kan besbol besi yang ada di gudang sekolah. Kamu harus mengembalikannya sebelum aku melaporkannya kepada Mr.Say, guru olahraga SMP yang paling galak di sekolah ini. Itu besbol kesayangannya yang sekarang dia benci karena besbol itu juga membenci Mr.Say. Kamu akan mendapatkan hukuman berat kalau kamu ketahuan mengambil benda itu,” kataku yang tidak mau kalah dengannya. Aku membuat Rinrin semakin kesal dan sepertinya kepalanya sudah panas. Itu membuatku ingin tertawa.
Rinrin mendekatiku dengan cara berlari. Dia mengangkat besbol itu, tujuannya adalah menyerangku.
Aku hampir mengenai benda itu. Untung saja aku bisa menghindar. Aku bisa melihat dua helai rambutku terpotong karena besbol besi itu. Entah kenapa, itu membuatku marah.
Rinrin menoleh dengan wajah ngeri.
“Kali ini Lo selamat. Tapi, yang ini tidak akan meleset!!!”
Dia mulai menyerangku lagi.
Aku mengeluarkan buku catatan belajarku. Bersampul biru tua dan sampul itu tercatat "Arika" di depannya. Buku itu sering aku bawa dan sering sekali aku gunakan untuk belajar. Aku membolak-balikkan halaman, mencari catatan tentang rumus Fisika yang tiba-tiba lupa. Aku mencoba mengingat lagi.
“Masih ingin belajar sekarang???? Bodoh sekali!!!” Suaranya makin keras.
Besbol itu sudah ada di depan mataku, segera mendarat ke kepalaku.
“ARIKA!!!” Teriak Andi tiba-tiba. Baru saja dia mengeluarkan suaranya disaat aku ingin dipukul oleh besbol sialan itu. Menyebalkan juga ya.
Tapi, aku tidak sempat menghindar.
“KENA LO.”
Tidak semudah itu aku kalah.
“Maksudmu apa? Selesai membunuhku?”
“Tentu saja! Aku sudah .. Eh! Tunggu. APA?”
Aku menahan serangannya itu dengan buku yang aku pegang sejak tadi.
“Tidak mingkin!!” Ucapnya lagi.
PRAK!!!
Aku memukul besbol besi itu dengan buku sampai besbol itu lepas dari pegangan Rinrin. Besbol itu menancap jauh dari tempat kami berdiri.
“Benda apa itu?” Kata Rinrin dengan sangat terkejut. Andi pun melihatnya begitu terkejut bukan main.
“Kamu gak tahu?? Aku ini sampai sekarang masih menjadi ketua Ekskul Karate di sekolah ini, tahu! Benar-benar gak bisa nyari berita,” jawabku dengan lantang. “Ini bukan buku biasa. Buku ini sengaja aku buat dengan bahan besi dan bahan lainnya, tapi bukan besi seperti besbol sialan itu. Buku ini lebih kuat dari pada senjata besi lainnya. Buku senjata ini dibuat sebagai simbol Karate Lintang Grama, kelompok karate paling kuat dari kelompok karate yang lainnya. Jadi, buku yang sering aku bawa ini, bukan benda yang bisa dibawa oleh semua orang. Tapi hanya satu orang, yaitu aku.”
Wah wah, sepertinya aku sedang menyombongkan diri. Tapi, itu faktanya. Yang aku katakan itu adalah fakta. Aku hanya ingin ini semua berakhir dengan tenang. Tidak ingin ada kekerasan atau ada benda tajam.
Aku berjalan biasa mendekatinya sambil membuka buku yang aku maksud itu dan membaca rumus Fisika. Dia terlihat tegang dan takut padaku. Setelah sudah cukup dekat, aku berkata.
“Sadarlah, Rin. Sadar. Ingatlah Tuhan yang selalu melihatmu. Ingatlah hal-hal yang baik. Buanglah hal-hal buruk. Janganlah kamu melakukan hal yang tidak ada gunanya untukmu. Dunia akan menangis melihatmu kalau kamu tidak melakukan hal yang baik untuk dunia. Juga keluargamu, temanmu, dan semuanya. Aku yakin, kamu adalah gadis yang baik, murah hati, tidak sombong, ceria, pintar, dan membuat semua orang bahagia. Itulah harapanku untukmu. Semua akan baik-baik saja jika harapanku itu terwujud untukmu. Jangan takut untuk kebaikan. Jangan berani untuk keburukan. Sebab, ada seseorang yang sedang mendo'akanmu untuk berubah. Orang itu adalah, AKU SENDIRI.”
Astaga. Aku tidak percaya apa yang aku katakan barusan. Panjang dan lebar kata-kataku itu tadi. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Hanya satu kali hembusan untuk mengeluarkan kata-kata itu. Bagiku sangat mengejutkan.
Rinrin lari begitu saja, hanya meninggalkan jejak kakinya, setelah mendengarkan kalimatku.
“Hei! Besbolnya ketinggalan. Apa aku yang harus membawanya? Hhh ...” Keluhku.
“Aku saja.”
Aku menoleh. Rupanya suara Andi. Kulihat, dia tidak apa-apa.
Andi segera mengambil besbol yang terlihat berat itu. Tapi, aku mencegahnya.
“Tunggu. Biar aku saja yang membawanya.”
Aku mengambil besbol itu. Cukup berat, tapi tidak membuat tanganku sakit. Andi melihatku dengan bingung.
“Kamu tidak berat membawa benda itu?”
“Tentu saja tidak,”
Aku mengangkat tongkat besbol besi itu lalu aku letakkan dibahuku. “ Aku akan meletakkan kembali benda ini ke tempat asalnya. Kalau aku bertemu dengan pemilik benda ini, Mr.Say, aku akan menceritakan apa yang sudah terjadi tentang benda ini kepadanya. Kalau dia tidak percaya dengan ceritaku, mungkin aku akan bakal dihukum.”
Andi kembali terdiam. Menundukkan kepala. Tiba-tiba, sesuatu jatuh dari kelopak matanya. Air mata.
Tanganku langsung saja melepaskan besbol besi itu. Dengan cepat aku menghampirinya dengan rasa khawatir. Apa dia baik-baik saja? Apa sebelum aku melihatnya dengan Rinrin, sudah ada sesuatu yang dilakukan oleh Rinrin kepada Andi?
Dia benar-benar menangis.
Aku memegang pundaknya.
“Hei. Kamu tidak apa-apa? Kamu ... Seperti sedang bersedih. Ada apa? Apa ... Ada sesuatu yang terlewatkan sebelum aku datang? Hah? Jawab, Andi!”
Dia malah semakin menangis. Apa yang harus aku katakan lagi? Tidak ada kata-kata lagi yang aku pikirkan. Apa? Apa yang harus aku lakukan?
Andi mulai bersuara dengan suara tangisnya.
“Tidak .. Aku tidak apa-apa, kok. Cuman ... Aku senang. Senang melihat Arika bersamaku lagi, yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Ya, Fanellia. Dulu kecil, aku memanggilmu Fanellia. Sekarang, aku memanggilmu dengan nama panggilanmu yang sebenarnya, yaitu Arika. Entah kenapa ... Aku senang ada sosok Arika di depan mataku sekarang. Sangat .... Senang.”
Dia kembali lagi ke isak tangisnya yang pelan. Aku diam tidak berkata apa-apa. Kalimatnya itu, membuatku beku. Tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Sampai sekarang, aku masih memegang pundaknya. Kepalanya tertunduk sekali.
Aku berusaha membuat kepalanya terangkat kedepan. Tangan kananku memegang pipi kirinya. Itu membuat kepalanya terangkat. Dia melihat mataku dengan matanya yang dipenuhi dengan air mata. Otomatis, tangan kananku segera menghapus air matanya. Aku tidak suka melihat orang menangis di depanku. Aku ingin, orang yang ada di depanku ini, bahagia. Tidak ingin ada kesedihan menyelimuti dirinya.
“Tersenyumlah, Andi. Dunia perlu senyumanmu, dan .. Termasuk aku.”
Setelah tangan kananku menghapus air matanya, aku segera merapikan rambut dikeningnya itu agar tidak terlalu menutupi matanya.
Senyumannya. Dia tersenyum. Tangan kirinya mengambil tangan kananku, lalu menurunkannya. Dan, apa ini? Dia lama memegang tanganku dan menatap mataku dengan lama. Dengan cepat, Andi memeluk diriku dengan erat. Seolah, seperti berabad-abad tidak bertemu denganku. Saking eratnya, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan saat seseorang sedang memelukku. Erat dan hangat. Itu saja yang aku rasakan sekarang.
Tangan kananku memegang punggungnya. Membalas pelukannya. Sepertinya, cara ini adalah cara satu-satunya untuk membuat Andi tenang, agar tangisnya selesai.
Lalu, suara yang sangat pelan terdengar.
“Terima kasih, Arika.”
***


Profil dan Lainnya
Hai! Ketemu lagi dengan Melinda Adelia Jenita Werner, singkat saja Melinda. Cerpen ini sengaja dibuat iseng karena gak ada kerjaan.
Hobby ya pasti mengarang cerita menjadi sebuah cerpen atau novel. Oh iya, aku suka Anime lho! Hehe :v
Teman-teman, kalau kalian ingin memberikan kritik, saran, atau berteman, silahkan langsung chat aku di twitter:Melinda_Nico atau PIN:29F8A304. Fb? Punya, kok: Melinda Adelia Jenita yang lahir tanggal 8 Januari ya .. Wkwk :v
Tunggu cerita selanjutnya, ya!! ^^

1 komentar:

  1. youtube :: youtube :: youtube :: youtube
    youtube :: youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube. youtube mp3 youtube. youtube. youtube. youtube. youtube.

    BalasHapus

Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)