Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Welcome to KCRdA weblog | take parcitipate with us | read stories | comment | send stories

Minggu, 14 Februari 2016

Teman Sebangku - Part 1

Teman Sebangku
Karya Melinda Adelia Jenita Werner

Part: 1.
Rasanya tidak ada kerjaan lain lagi selain duduk santai di bawah pohon sambil baca buku novel yang baru aku beli kemarin. Di saat jam pelajaran kosong saat ini, aku akan menghabiskan waktuku di bawah pohon sekolah yang sejuk. Biasanya kalau pelajaran kosong, yang lain sukanya ngobrol dengan temannya masing-masing atau saling membuat kelompok untuk mengobrol atau main HP dan Laptop. Sedangkan aku?

Naya. Itulah namaku. Nama yang jarang sekali disebutkan oleh teman-teman sekelas. Lho, kenapa?
Mungkin, mereka membenciku. Ya, menurutku aku biasa-biasa saja. Tidak ada kelebihan sama sekali. Hanya saja, para siswa laki-laki selalu melihatku. Aku sangat bingung. Tidak tahu harus apa dan bagaimana caranya aku bisa memiliki seorang teman.
Aku pun selalu sendiri. Tidak ada yang ingin berteman denganku ataupun mengobrol denganku. Aku .. Merasa tidak tertarik lagi mencari seorang teman. Semuanya membenciku.
***
1 tahun kemudian ...
SMA. Sebuah kata yang sangat aku tunggu-tunggu. Akhirnya aku bisa masuk ke sekolah favoritku, SMA yang jaraknya sangat dekat dengan rumahku. Dan aku telah bebas dari masa SMP-ku. Semoga aku bisa menemukan seorang teman.
Aku masuk ke sekolah baruku. Sekolah yang begitu besar dan luas. Cat yang berwarna krim, coklat, orange, dan putih membuat semuanya terlihat pas dilihat. Aku akan betah di sini.
Kakiku melangkah masuk ke dalam kelas, yaitu kelas 1-A. Kulihat, ternyata di dalam kursinya tidak pisah-pisah. Kursi-kursi kelas terbagi menjadi 4 baris, satu baris disusun sepasang kursi sampai belakang. Artinya, aku akan duduk sebangku dengan seseorang.
Tunggu. Duduk dengan seseorang? Sebangku?
Semua duduk di kursi. Aku pun mencari kursi yang kosong, tapi rasanya tidak ada satu pun kursi lagi yang kosong. Apa aku akan berakhir dengan duduk di lantai?
Seseorang melambai-lambaikan tangannya seperti mengajak ke sana. Entah itu memanggilku atau apa, aku menunjuk diriku sendiri untuk memastikan sambil melihatnya dari jauh. Kulihat dia balas mengangguk. Aku terkejut.
Aku berjalan ke tempatnya. Dia tersenyum dan mengajakku duduk di sampingnya.
“Duduklah. Mungkin ini kursi yang terakhir,” katanya.
Tidak ada pilihan lain. Aku pun setuju dan segera duduk di kursi yang ditunjuknya. Dan aku sebangku dengan cowok. Padahal aku ingin sebangku dengan cewek.
“Hai, namaku Len,” kata cowok itu memperkenalkan dirinya padaku. Aku menoleh, melihatnya tersenyum.
“Naya,” balasku memberitahu namaku.
Aku melihat seluruh kelas. Tampaknya cewek-cewek yang lain gak terlihat melihatku sinis atau tatapan musuh. Dan cowok-cowok lainnya pun terlihat asik dengan teman-temannya. Apa aku harus berteman dengan cowok? Padahal aku ingin berteman dengan cewek!
Hening. Kami tidak bicara lagi. Kulihat ekspresinya terlihat bingung.
“Dulu kamu di SMP apa?” Tanyaku.
“SMP Yahya. Kamu?”
“SMP Deilen.”
Tiba-tiba mulutku seperti ingin ditutup rapat. Rasanya air ludahku terasa pahit setelah menyebut nama sekolah SMP itu. Sekolah beserta siswa-siswanya. Itu membuatku muak.
Sekali lagi aku melihat seluruh kelas. Tampaknya cowok-cowok seperti berkumpul dan satu baris kursi di ujung kanan dipenuhi oleh cowok-cowok. Terlihat membosankan dilihat. Tapi, kenapa Len tidak bergabung dengan mereka?
Tiba-tiba saja aku seperti tidak ingin mencari teman. Tapi, aku sudah punya satu teman, yaitu Len.
“Naya,”
“Ya?”
Len tiba-tiba langsung memalingkan kepalanya seperti membuang muka padaku. Aku bingung tidak mengerti.
“Gak, cuman manggil.”
“Manggil?”
“Maksudku, nge-tes aja, kok, sungguh gak ada pikiran lain!”
Mulutku sepertinya memonyong. Ya, maksudnya mulutku tiba-tiba monyong karena menahan tawa melihat ekspresinya. Ngakak pokoknya.
“Gitu.”
“I-iya.”
“Aku mau tanya.”
Len yang awalnya tampak gelisah, kembali ceria. “Ya?”
“Kenapa kamu tidak gabung sama mereka?”
“Siapa?”
“Ya .. Bisa dibilang perkumpulan para cowok, yang ada dibarisan ujung sana.”
Tiba-tiba Len yang awalnya muka ceria, jadi murung. Aku bingung lagi. Tidak mengerti jalan pikiran Len. Ya, baru beberapa menit kenal dengan Len ya jelas aku masih gak ngerti dengannya.
“Aku tidak ingin berteman dengan mereka.”
“Kenapa?” Tanyaku kepo.
Kepalanya sedikit tertunduk. Mukanya terlihat sedih atau terlihat takut.
“Aku .. Hanya tidak ingin saja.”
“Jujur, Len. Apa hanya itu?”
“Pokoknya, aku tidak ingin ke sana, aku tidak ingin mengulanginya lagi. Mereka ... Membenciku.”
Tidak tahu harus bilang apa lagi. Aku sangat mengerti apa yang Len maksud. Apa dia dulu dijauhi oleh teman-teman cowoknya?
“Kenapa kamu berpikir kalau mereka membencimu? Lagi pula, hari ini hari pertama masuk sekolah.”
Len tampak tidak bersemangat. Tubuhnya seperti tidak ingin melakukan apapun. Dia menatapku lama.
“Sudahlah, tidak perlu dibahas.”
Tentu saja aku terkejut mendengar itu. Dia seperti mengabaikanku. Aku kesal melihat kelakuannya yang murung itu. Tidak asik sama sekali. Tapi, saat mengingat senyumannya, aku seperti ingin terus berteman dengannya. Aku tidak ingin dia pergi dariku.
Tunggu. Apa?
***
Dalam urusan cowok, aku belum pernah memikirkan pacar, cinta, atau apalah itu. Tapi, kenapa tiba-tiba aku memikirkan hal itu? Apa ada yang kusuka di kelas ini? Tidak mungkin.
“Len,”
Di depan kelas, guru Matematika sedang menerangkan pelajaran yang membosankan dan harus dimengerti oleh seluruh siswa. Len yang mendengar namanya disebut, tidak menghiraukan panggilanku. Dasar nih anak emangnya pengen diapain??
“Berhentilah bersikap seperti itu, atau aku akan memukul wajahmu. Oh ayolah, hentikan.”
“Ada apa, Naya? Kamu terganggu? Atau merasa tidak nyaman duduk denganku?”
Pertanyaan yang dibuat-buat olehnya membuatku terdiam sebentar. Mungkin suasana hatinya sedang tidak enak. Aku harus menjawabnya dengan hati-hati.
“Pakai nanya segala! Aku hanya khawatir dan merasa bersalah melihatmu! Kenapa sih kamu??”
Len terkejut mendengar jawabanku. Mukanya memerah sebentar, lalu kembali ke ekspresi sebelumnya.
Aku menghela napas. “Maaf.”
“Kenapa kamu minta maaf?” Tanya Len bingung.
“Aku telah membuatmu marah. Dan aku pun merasa bersalah dengan kata-kataku. Jadi aku minta maaf, lagi.”
“Tidak perlu minta maaf, Nay. Aku aja yang tidak bisa menyembunyikan rasa benciku ataupun sedih. Tapi syukurlah aku bisa bernapas lega karena aku sudah punya satu teman yang perhatian pada temannya, yaitu kamu.”
“Kalau begitu, tersenyumlah. Maka aku tidak akan merasa bersalah padamu.”
Lihat saja, dia tersenyum. Senyuman yang membuat para cewek melihat ke arahnya. Tapi, aku mengabaikan mereka. Aku hanya melihat Len yang tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya.
***
“Lihat!” Tunjuk Len mengarahkan jari telunjuknya ke suatu tempat. Aku melihat tempat yang dia tunjuk.
“Ini taman sekolah, kan?”
“Iya.”
Aku sangat takjub melihat taman itu. Taman sekolah yang bersih dan hijau. Banyak pohon tertanam dan tumbuhan lainnya. Aku seperti ingin tidur siang di sana.
“Bagus!” Kataku. Aku berjalan memasuki taman sekolah. Lumayan banyak yang ada di taman. Aku berjalan mencari pohon yang aku suka. Pohon yang akan membuatku tenang di bawahnya.
“Naya, Naya!” Panggil Len.
Aku menghentikan langkahku lalu menoleh ke arah Len. Sepertinya dia kelelahan karena mengikutiku terus.
“Kamu kayaknya sedang mencari sesuatu di sini. Mencari apa?”
Aku tersenyum. “Pohon.”
“Pohon?”
Aku mengangguk. “Ya, sebuah pohon.”
Tidak lama, aku menemukan sebuah pohon yang sedang sendirian. Seperti tidak ada yang menemaninya. Aku berlari ke arah pohon itu. Pohon yang cukup besar.
“Duduklah di bawah pohon bersamaku. Ini akan menyenangkan,” ajakku.
Dia terdiam melihatku. Saking tidak sabarnya, aku langsung menarik tangannya dan memaksanya untuk duduk.
“Ayo duduk!”
“Iya-iya, aku duduk!”
Setelah Len duduk, aku pun duduk. Menyenderkan diriku dipohon besar itu sambil melihat ke atas. Daun-daun yang masih terlihat berwarna hijau dan warna biru di langit yang memberikan ketenangan.
“Indah.”
Satu kata yang Len katakan membuatku menoleh ke arahnya. Len yang sedang melihat ke langit. Matanya yang melebar dan mulutnya yang sedikit terbuka. Tak lama Len menatap langit, dia menoleh ke arahku yang sedang melihatnya. Dia terkejut dan langsung membuang mukanya.
“Ke-kenapa kamu tadi melihatku?”
“Aku senang melihat orang yang sedang melihat ke langit. Rasanya tenang sekali.”
“Hanya itu?”
Aku mengerutkan kening. Bingung apa maksud dari pertanyaan itu. Apa aku melupakan sesuatu? Atau mengabaikan sesuatu?
“Apa aku melupakan sesuatu?”
Tiba-tiba saja Len tertawa. Aku semakin bingung.
“Tidak ada, kok!”
“Kamu tampak mencurigakan!” Kataku.
“Hahaha ... Benarkah begitu?”
“Iya! Lihat saja ekspresi jahilmu itu! Membuatku kesal.”
Kami pun mengobrol dan tertawa bersama. Rasanya senang sekali bisa mengobrol dengan teman di bawah pohon sekolah yang sejuk. Sangat berbeda dengan yang dulu saat aku sendirian di bawah pohon dengan buku novelku.
Aku tidak ingin melepas kesenangan ini.
***
Tidak terasa, waktu sangat cepat berlalu. Seperti baru pertama kali masuk ke sekolah ini. Satu semester sudah kujalani. Saatnya berlibur.
“Berapa nilai Matematikamu?” Tanya Len sambil melirik buku rapotku.
“86. Kamu?”
“87. Berarti aku yang paling tinggi, dong,” seru Len sengaja menyombongkan diri.
Aku menggembungkan pipiku, tanda ngambek. “Idih, PD banget karena beda satu angka aja, kok, ah!”
“Hahahaha! Tapi faktanya benar, yaitu Matematikaku lebih tinggi daripada punyamu.”
“Terserah ....” Kataku menghela napas. Len masih tertawa melihatku. Aku pun jadi ikut tertawa, lalu saling memukul canda.
Aku dan Len berjalan menelusuri jalan. Jalan yang berdebu dan sedikit berasap, namun itu tidak akan mengubah suasana hatiku yang bagus.
“Tapi aku yang paling tinggi di pelajaran IPA, IPS dan Bahasa Inggris, lho!” Kataku ikut menyombongkan diri.
Sekarang giliran Len yang cemberut dan aku pun tertawa kencang sekali. Kami saling pukul canda lagi.
“Liburan kamu mau ke mana?” Tanya Len.
“Mungkin gak ke mana-mana.”
“Gak akan ke mana-mana?”
“Iya.”
“Serius?”
“Serius!”
Len mengangguk-angguk, lalu dia memalingkan mukanya ke arah lain. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Kalau kamu?” Tanyaku ingin tahu.
“Aku, ya?” Tanya Len balik.
“Iya, Len.”
“Aku .. Mungkin gak bakalan ke mana-mana juga.”
“Hmm ... Berarti kita ini gak ada rencana apa-apa gitu diliburan panjang ini?”
Len menggelengkan kepala. Aku tertawa kecewa lalu memegang kepala. Kami sama sekali tidak ada kegiatan di saat liburan semester tiba. Benar-benar menyedihkan.
Sampailah di sebuah komplek yang berseberangan dengan komplek lain. Kami beda komplek, tapi kalau ingin ke rumah, dekat saja kok.
“Naya, tunggu sebentar.”
Aku berbalik badan. “Ada apa, Len?”
Len tersenyum. Tersenyum padaku sambil melambaikan tangan.
“Nanti aku SMS kamu jam 8, ya! Dah, teman sebangku!” Kata Len.
Aku membalas senyumnya itu. “Oke. Dah juga, teman sebangku!”
Kami pun tertawa bersama lagi. Setelah itu kami pun pisah dan pulang ke rumah masing-masing.
Sampainya di rumah, aku langsung berlari menuju kamar dan berbaring di kasur. Tubuhku lelah sekali, tapi tidak apa-apa. Itu bagus karena menyenangkan. Aku melepas dasi dan kaos kaki, lalu kembali merebahkan diri. Tanganku masuk ke dalam tas, mencari handphone-ku. Aku mengotak-atik sebentar, satu SMS muncul.
“Len?”
Aku membuka pesan dari Len itu. Isinya begini: “Nay, besok kamu ada waktu luang, gak? Maaf aku SMS-nya gak tepat di jam 8 :p”
Langsung saja setelah membaca SMS itu aku tertawa. Gak bisa nahan. Aku pun membalasnya: “Gak pa-pa. Santai saja. Ada kok, waktuku besok gak ngapa-ngapain. Ada apa?”
Kurang 5 menit, balasan muncul: “Apa kita perlu ke suatu tempat?”
SMS muncul lagi sebelum aku membalas: “Maksudku, aku ingin mengajakmu jalan. Mau?”
***


Profil dan Lainnya
Melinda Adelia yang satu ini sangat gemar menulis dan selalu mengirimkan cerpen buatannya ke berbagai situs media. Nama ini sangat antusias dengan namanya cerpen dan novel sampai-sampai dia ingin mengirimkan novelnya yang sudah selesai dia buat ke salah satu penerbit ternama. Kebiasaannya menulis cerita adalah hal yang sangat disukainya, dan membulatkan tekatnya untuk menjadi seorang penulis terkenal. Sejarahnya baru saja dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)