Think In Love
Karya Melinda Adelia Jenita Werner
Part:2. (Andi)
Malam tiba dengan dingin. Aku memakai pakaian yang panjang karena malam ini sangat dingin dari biasanya. Apakah bulan ini akan turun Salju? Hahaha, tidak mungkin di Indonesia akan turun Salju. Kalau benar-benar akan turun Salju, apa yang akan terjadi di Indonesia? Diselimuti oleh Salju? Keajaiban sekali.
“Arika, makan malam sudah siap.” Kata Mama yang berada di ruang makan. Aku menghentikan belajarku dan segera keluar dari kamar lalu berjalan ke ruang makan. Kulihat Mama masih sedang memasak, dan seseorang sedang duduk sambil menyeruput tehnya.
Aku menarik sebuah kursi lalu duduk. Kulihat teh hangat dihadapanku dengan cangkir berwarna hijau. Aku menjauhkan teh itu dariku, lalu meletakkan kepalaku dimeja.
“ Tidak diminum?”
“ Terima kasih sudah mengingatkanku, tapi aku tidak haus.”
“ Tapi kamu harus meminumnya sebelum teh itu dingin.”
Benar juga. Aku tidak suka teh yang telah kehilangan kehangatannya. Singkatnya, aku tidak suka teh dingin.
Langsung saja aku mengambil teh ku lalu meminumnya. Setelah itu aku menjauhkan kembali teh itu dariku. “ Aku benci teh dingin.”
Dia tersenyum kearahku. “ Aku juga.”
Aku tersenyum masam. Baru pertama kali merasakan pemikiran yang sama dengan orang lain. Itu membuatku aneh dan agak kesal.
“ Arika,” panggilnya.
“ Mm?” Tanyaku sambil bertopang dagu.
“ Bisakah kita belajar bersama malam ini?” Ajaknya.
Aku yang ingin menyeruput teh lagi, segera terhenti. Untung saja aku belum meminum tehku. Mungkin saja aku akan tersedak. “ Belajar bersama?” Ulangku. Aku lalu membatin, " Andi ingin belajar bersama denganku? Tidak salah dengar? "
Andi mengangguk. “Sebenarnya aku lemah dalam pelajaran IPA. Mungkin kamu bisa membantuku sedikit dalam belajarku,”
Aku membatin lagi, " membantu? Ya ampun .."
“ ... dan aku juga bisa membantumu dalam rumus Fisika. Kalau rumus yang lain, aku kurang mengerti. Jadi, belajar bersama adalah jawaban yang tepat untuk Ujian terakhir besok. Apa kamu mau?”
Hmm ..., gawat. Belajar bersama? Ujian terakhir? IPA? Kalau dipikir-pikir, dalam proses belajar IPA-ku, aku tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Tapi, ada satu titik masalah, yaitu rumus Fisika. Aku agak lemah dalam rumus Fisika karena bagiku membingungkan. Kalau aku menolak ajakan Andi, aku akan belajar sendiri di kamar dan menemukan jalan rumus Fisika dengan caraku sendiri dan juga pastinya membingungkan. Kalau aku menerima ajakan Andi, masalah rumus Fisika akan terpecahkan dengan bantuan Andi. Tapi, aku juga akan membantu Andi dalam rumus yang sulit baginya. Aku tidak mau bagian yang itu.
“ Hmm, baiklah.” Jawabku pada akhirnya. Andi tersenyum senang.
Aku bertopang dagu lagi. Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi selain bertopang dagu. Entah kenapa aku mulai tidak nafsu makan malam ini. Tapi aku berusaha membuang tidak nafsu itu didiriku. Kalau aku tidak makan malam ini, mungkin Mama akan khawatir lagi dengan kesehatanku.
Mama duduk dikursi sambil membawa banyak makanan. Matanya lalu melirik kearahku. “Kenapa, Arika? Tidak nafsu makan lagi?” Tanya Mama. Aku hanya diam tidak menjawab. Tanganku mengambil teh hangatku lalu meminumnya.
Mama hanya menghela napas pelan.
Aku bangkit dari kursi lalu berjalan keluar dari ruang makan. Hari ini, aku tidak bisa membuang tak nafsu makan malamku.
“ Arika, ”
“ Nanti saja makannya, Ma.” Kataku memotong kata Mama yang belum selesai. Aku langsung melesat menuju kamar. Mungkin jam 9 malam nanti aku bakal makan.
Kuputuskan untuk merebahkan diriku di tempat tidurku. Mataku terus saja memerhatikan jam dinding berwarna putih itu bergerak menjalankan waktu. Pukul 7.36.pm. Kepalaku sudah dipenuhi dengan ilmu dibuku yang telah aku baca. Aku ingin mengistirahatkan kepalaku dulu sambil menunggu Andi. Mungkin akan lama.
" Tok! Tok! " Suara ketokan pintu terdengar. “Arika, kamu didalam?”
Itu suara Andi. Apa dia sudah selesai makan? Cepat sekali. “Oh, kamu ya? Masuklah.”
Andi masuk kedalam kamarku. Aku mengerutkan keningku.
“ Baru selesai makan?”
“ Tidak, aku belum lapar.”
Lagi-lagi pemikiran yang sama. Itu membuatku aneh. Reaksiku hanya mengangkat kedua alis.“Oh, baiklah. Kapan kita akan belajar?”
“ Sekarang juga bisa!” Jawabnya dengan semangat. Aku berpikir sebentar.
“ Lebih cepat akan bagus. Dimana kita akan belajar?”
“ Terserah kamu.”
Aku berpikir lagi. Tempat yang bagus dimana, ya? Diruang tamu? Tidak. Aku tidak akan fokus diruang tamu karena ada televisi. Ruang makan? Tidak. Aku akan terganggu dengan pemandangan ruang makan. Hmm ..., dimana, ya?
“ Aku bingung kalau soal tempat.” Kataku kemudian. Aku bangun lalu duduk di lantai yang telah dilindungi oleh karpet berbulu.
Andi diam sambil memegang dagunya. Sepertinya dia sedang berpikir. Dia berdiri lalu duduk disampingku. “Biasanya kamu belajar dimana?”
Aku mengangkat kepalaku. “Oh, biasanya aku belajar di kamar saja.” Jawabku. Aku melihat jam dinding lagi. Pukul 7.40.pm.
“ Kalau begitu kita belajar di kamarmu saja.”
Pandanganku teralih kearahnya. “ Apa, dikamarku?”
Andi mengangguk. Aku memasang tatapan aneh.
“ Apa kamu tidak akan terganggu dengan kamarku?”
“ Tidak sama sekali.”
Aku tidak mau berpikir lagi dan tidak ingin bertanya lagi. Aku ingin semua ini cepat selesai. Lebih baik berbicara dan menerima ajakannya dengan baik daripada mendapatkan nasehat oleh Mama.
“ Baiklah, aku tunggu di kamarku.”
Andi segera keluar dari kamarku. Beberapa detik kemudian dia kembali dengan membawa beberapa buku. Disalah satu buku itu adalah buku tebal IPA kelas 9 yang sama persis dengan bukuku. Buku itu terlihat seperti baru.
“ Masih baru?” Tiba-tiba aku bertanya. Padahal aku tidak ingin bertanya yang tidak penting lagi. Tapi pertanyaan itu keluar begitu saja.
Andi memegang buku IPA-nya. “ Sudah lama. Buku ini terlihat masih terjaga karena aku sedang belajar merawat buku,” jawabnya.
“ Mmm ...” Aku hanya bergumam tidak jelas. “ Bolehkah kita mulai belajar pukul 8? Aku mulai merasakan kalau aku belum siap menghadapi kenyataan,” pintaku kemudian.
Andi cekikikan mendengar permintaanku itu. “ Tentu saja,” jawabnya lagi. “ apa maksudmu dengan "belum siap menghadapi kenyataan" ?”
Aku merebahkan diriku dilantai. “ Apa kataku itu membuatmu bingung?” Tanyaku balik. Andi mengangguk.
Aku menarik napas, lalu mulai bicara. “ Ya, jelas saja. Setiap hari aku hanya makan roti selai stroberi, lalu mengayuh sepedaku menuju sekolah, dihampiri oleh adik-adik kelas, piket kebersihan setiap pagi diruang Bahasa Inggris 3, belajar dikelas dengan Pak Houston yang terkenal Killer, istirahat tiba aku terus ditarik-tarik oleh Cewek menyebalkan itu kebelakang sekolah sampai aku tidak sempat memakan kotak bekalku, latihan piano yang membosankan, dan akhirnya aku kembali mengayuh sepedaku kerumah. Besoknya aku melanjutkan kegiatan itu lagi-lagi-lagi-lagi dan lagi! Tapi besok hari terakhir dan setelah itu aku tidak akan melakukannya lagi.” Jelasku sambil menulis diudara. Kata yang kutulis cuma satu, yaitu B-O-S-A-N.
Andi tertawa kecil mendengar perkataanku yang tiba-tiba keluar dari mulutku. “ Apa kegiatan itu membuatmu terganggu?”
Aku menutup mataku. “ Mungkin.”
Andi duduk menyenderkan dirinya di salah satu tepi tempat tidurku.
“ Maaf ya Arika, soal ... Rindiani,” katanya lagi. Kata itu membuat mataku terbuka.
“ Oh, Rinrin? Jangan pikirkan dia lagi. Dia itu adalah salah satu makhluk asing yang berubah jadi manusia. Dia itu bukan apa-apa!” Balasku sambil tetap menulis diudara. Kali ini, yang kutulis adalah A-L-I-E-N R-I-N-R-I-N.
“ Kau tidak menganggap itu dengan serius?”
Aku merubah posisiku. “ Apa, aku menganggap itu masalah yang serius?? Ya ampun mungkin aku sudah gila!!”
“ Apa kau tidak merasa terganggu dengannya saat kau terus-terusan berurusan dengannya? Apa kau tidak tahu, hampir semua murid dikelasmu menjauhimu karena itu suruhan dari Rindiani dan mereka yang melakukan itu akan dibayar oleh Rindiani.”
Tidak mungkin. Apakah ini mimpi? Atau kenyataan? Rindiani Evtania tega melakukan itu untukku? Apa benar? Hampir semua teman sekelasku menjauhiku hanya karena suruhan dari Rinrin? Jahat sekali! Diriku seperti diinjak-injak sebagai perempuan olehnya. Kenyataan yang pahit untukku.
Aku hanya diam memahami apa yang Andi katakan kepadaku. Yang kurasakan saat ini adalah sedih dan sakit.
“ Dan, aku juga dipaksa oleh Rindiani untuk menjadi pacarnya. Kalau aku menolak, Rindiani akan mengajak satu kelas lagi untuk menjauhimu. Jadi tidak ada pilihan yang lain lagi.” Sambungnya.
Cewek sialan itu!! Untuk apa juga dia membawa Andi dan menjadikannya sebagai pacarnya? Tidak masuk akal.
“ Untuk apa dia melakukan itu?” Tanyaku dengan suara agak bergetar.
“ Agar dia menjadi terkenal disekolah. Dia tidak ingin melihatmu sukses.” Jawab Andi.
Dia melakukan semua itu agar dia menjadi terkenal disekolah? Dasar blagu banget nih cewek! Berani banget.
“ Sialan! Dia merubah jalan hidupku karena hanya tujuan itu?? Sebenarnya apa maunya itu???!!!” Kataku marah sendiri.
Andi diam tidak berkata lagi. Dia hanya melihatku yang sedang marah sendiri. Benar, aku sangat marah. Aku ingin dia tidak ada di sekolah besok. Kalau aku bertemu dengannya dan bicara kepadaku, aku akan membalas perbuatannya itu! Lihat saja.
“ Arika,” panggil Andi.
Aku menoleh kearahnya. “ Apa?”
“ Sebelumnya, aku minta maaf. Sebenarnya, aku kerumahmu karena aku ingin menceritakan yang sebenarnya kepadamu. Dan aku telah menceritakannya kepadamu dengan jelas. Mungkin saat liburan tiba, aku akan kembali kerumahku. Aku ingin tinggal lebih lama disini, tapi aku takut kau tidak suka akan aku tinggal disini. Rumahku bukan didaerah Jakarta, rumahku yang sebenarnya berada di Bandung. Nanti aku akan pulang kesana.” Jawabnya.
Aku hanya bisa diam mendengarkannya. Entah kenapa, aku tambah sedih saat mendengarkan pernyataannya barusan. Harusnya aku senang kalau dia tidak akan lama tinggal dirumahku. Kenapa kenyataannya bukan? Mungkin saja karena aku anak tunggal yang tidak memiliki teman di rumah membuatku merasa kesepian.
Aku menahannya. Menahan sesuatu yang jarang aku lakukan. Aku tidak mau melakukannya karena itu membuatku kembali seperti anak kecil. Tidak ingin melakukannya didepan sepupuku sendiri, walau aku masih kurang percaya kalau Andi adalah sepupuku. Kata Mama, waktu umurku 6 tahun, aku berteman baik dengannya. Bermain setiap sore di taman bersama sepupuku. Waktu itu, aku tinggal di Bandung bersama keluarga. Setelah sekolah TK-ku sudah selesai, aku bersama keluarga pergi ke Jakarta karena Jakarta adalah rumah kami yang sebenarnya. Kata Mama, Andi dan aku saling menangis karena tidak mau berpisah. Seharusnya Mama tidak perlu menceritakan masa kecilku dengan Andi, karena membuatku malu. Tapi aku juga masih tidak percaya dengan cerita masa kecilku yang memalukan itu. Kalau cerita itu memang benar, mungkin aku akan terdiam karena tidak ada lagi yang bisa aku katakan.
“ Kamu boleh tinggal disini lebih lama kalau mau,” ucapku tiba-tiba.
Andi terkejut. “ Tunggu. Apa maksudmu itu?”
Aku terdiam lagi dan terkejut. Apa yang telah aku katakan? Diriku seperti sedang kacau. “ Mm..,oh! Ti-tidak apa-apa. Lupakan saja.” Jawabku sambil mengarah kepandangan lain.
Andi tiba-tiba tersenyum kearahku. Aku semakin ngeri.
“ Bukankah kita akan mulai belajar bersama pukul 8 tepat? Ini sudah pukul 8.15.”
Aku melihat kearah jam dinding. Benar, sudah pukul 8.15pm.
“ Harusnya sudah dimulai dari tadi.” Ucapku sambil mengerutkan kening.
“ Kalau begitu kita mulai sekarang.” Kata Andi.
Aku mengambil buku IPA-ku yang berada di meja belajar dan juga buku tulis plus pena. Kuletakkan di lantai tempat aku biasanya bersantai dikamar.
“ Boleh aku bertanya duluan?” Tanya Andi.
“ Tentu saja.” Jawabku walaupun di dalam hatiku berkata tidak, tapi ya sudahlah.
Belajar bersama ternyata dimulai pada pukul 8.19pm dengan tenangnya.
***
Pukul 5.03am.
Alarm yang selalu membangunkanku di pagi hari berbunyi seperti biasa pada pukul yang telah aku atur sendiri. Aku menghentikan suara Alarm itu dengan tangan kiriku dengan seperti biasa.
Setelah merapikan tempat tidur, aku mengambil handuk biruku lalu segera berjalan kearah kamar mandi. Tapi saat didepan pintu kamar mandi, seperti ada seseorang di dalam yang sedang membasahi tubuhnya. Aku mengetuk pintu, lalu bersuara. “ Hei, apa di dalam ada orang?” Tanyaku memastikan.
Tak lama balasan muncul. “ Ini aku,”
Ternyata itu Andi yang sedang mandi didalam. Di kamar mandiku? Sebenarnya di kamar Andi memang tidak ada kamar mandi. Tapi di kamar mandi dekat kamar Mama juga bisa dipakai.
“ Kenapa harus di kamar mandiku?” Tanyaku dengan agak mengantuk.
“ Maaf, Arika. Soalnya Mamamu sedang memakai kamar mandi yang satunya, jadi aku numpang mandi disini.” Jawab Andi.
Aku menguap beberapa kali sambil mendengarkan jawabannya itu. “ Oh, baiklah. Tolong cepat sedikit, aku juga ingin mandi.”
Aku duduk ditempat tidurku untuk menunggu giliranku mandi. Sambil menunggu, aku mengingat rumus Fisika yang telah aku pelajari kemarin.
Andi pun keluar dari kamar mandi dengan handuknya yang dia letakkan dikepalanya. “ Pagi, Arika.”
Aku mengangkat kepalaku. “ Ya, pagi. Kau sudah selesai, kan? Aku mau mandi!” Kataku sambil berjalan menuju kamar mandi. “ Tunggu. Pukul berapa kau bangun?”
Andi mengeringkan rambutnya dengan handuknya. “ Pukul 4.40,” jawab Andi.
Aku mengerutkan kening. “ Awal sekali,” ucapku dengan heran.
Andi mengangguk. “ Aku bangun tanpa Alarm, lho!”
Aku menatapnya dengan aneh. “ Sudahlah, aku mau mandi dulu!” Aku berjalan masuk ke kamar mandi.
Sesudah mandi dan memakai seragam sekolah, aku keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan. Kulihat makanan belum siap dimeja.
Aku menghela napas. “ Pagi ini aku sarapan apa, ya?” Aku bertanya-tanya. Tumben Mama jam segini belum nyiapin sarapan.
Andi pun datang dengan tas sekolahnya. “ Arika, kata Mamamu buat sarapan sendiri, dia pergi terburu-buru karena ada rapat mendadak di tempat kerjanya.” Kata Andi kepadaku.
Aku terkejut. “ Pergi tanpa memberitahu anaknya?? Ya ampun, dunia seakan menolakku!” Ucapku dengan emosi yang tiba-tiba muncul. Andi tertawa kecil melihatku.
“ Hmm, bagaimana kalau aku saja yang akan membuat masakan pagi ini?” Tanya Andi.
Memasak? Apa dia bisa melakukannya? “ Boleh saja.” Jawabku tanpa berpikir panjang.
Aku membiarkan Andi melakukan apa yang dia kerjakan. Tanganku sibuk membolak-balikkan halaman buku. Kali ini bukan buku tebal IPA lagi, tapi buku novelnya Lyfa yang berjudul " Aku Mengerti". Halamannya berjumlah 302 halaman. Aku tidak mau membaca bukunya, tapi Lyfa memaksaku untuk membacanya. Buku ini sudah berada ditanganku sejak dua hari yang lalu. Aku khawatir akan tidak bisa mengembalikan buku ini. Kemarin di kantin sekolah, aku marah kepada Lyfa dan langsung pergi dari sana. Apa dia juga masih marah padaku karena aku marah tiba-tiba kepadanya?
“ Andi,” panggilku yang masih memandang sebuah halaman.
Andi menoleh tanpa membalikkan badannya. “ Ada apa, Arika?”
“ Apakah diriku yang mudah emosi ini bisa berteman dengan seseorang?” Tanyaku yang menurutku terlihat kurang jelas didengar.
“ Memangnya ada apa?” Kata Andi balik bertanya.
Aku mengerutkan keningku. “ Aku hanya bertanya!”
Andi menampakkan senyumnya. “ Hahaha. Apa maksud dari pertanyaanmu itu, Arika? Semua orang pasti bisa berteman. Menurutku, berteman adalah hal terpenting yang harus dilakukan oleh semua orang. Tanpa teman, hidup pun tidak akan berarti jika tidak ada yang mengisinya bersama dengan orang lain.” Jawab Andi.
Kata Andi memang ada benarnya juga. Kenapa aku menanyakan pertanyaanku yang aneh itu kepadanya. “ Oh, baiklah. Sebaiknya lupakan saja apa yang aku tanyakan tadi.”
Aku menutup buku itu. Buku yang belum aku baca sebelumnya. Diriku tidak tertarik dengan buku yang kupegang sekarang.
Andi tiba-tiba duduk dikursi dengan cepat.“ Buku apa itu?”
Untung saja aku tidak terkejut. “ Ini? Hanya buku novel biasa,” jawabku.
“ Kamu sudah membacanya?”
“ Aku tidak tertarik.”
Andi mengangguk pelan setelah meminum teh yang dia buat beberapa menit lalu. Tangan kanannya mengarahku.
" Boleh aku lihat buku itu?"
Aku terdiam sebentar. Tak lama tanganku menyerahkan buku itu. Kulihat sepertinya dia membaca belakang sampul hitam-biru itu. Matanya bergerak kesana-kemari melihat dan membaca tulisan-tulisan. Aku tidak memedulikan apakah dia membaca sipnosis itu atau tidak. Tangan kananku memegang sendok teh dan memukulnya ke mulut cangkir mengeluarkan suara yang menurutku merdu. Aku mulai merasakan satu kata yang tidak asing lagi: Bosan.
" Sepertinya menarik." Kata Andi yang membuat lamunanku pecah.
" Menarik?" Ulangku. Buku itu. Dia bilang menarik. Aku meletakkan buku itu kedalam tas hitam pekatku.
" Ya. Kamu harus membacanya selagi buku itu ada disampingmu."
Aku hanya mengangkat bahu sambil mengangkat kedua alisku. Rasanya aku tidak bisa membaca buku fiksi sebanyak itu. Halaman itu. Banyak sekali.
***
Profil dan Lainnya
Hai! Ketemu dengan Melinda Adelia Jenita Werner, singkat saja Melinda. Sebelumnya, aku sudah mengirim cerpen yang ceritanya masih berlanjut yang juga berjudul 'Think In Love'. Cerpen yang dibuat iseng karena gak ada kerjaan.
Hobby ya pasti mengarang cerita menjadi sebuah cerpen atau novel. Oh iya, aku suka Anime lho! Hehe :v
Teman-teman, kalau kalian ingin memberikan kritik, saran, atau berteman, silahkan langsung chat aku di twitter:Melinda_Nico atau PIN:29F8A304. Fb? Punya, kok: Melinda Adelia Jenita yang lahir tanggal 8 Januari ya .. Wkwk :v
Tunggu cerita selanjutnya, ya!! ^^
Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)