Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Welcome to KCRdA weblog | take parcitipate with us | read stories | comment | send stories

Kamis, 23 April 2015

Misunderstanding 2 - Cerpen Remaja

Misunderstanding 2
Karya R

seri 2 dari:


ANYA
Dia pacar yang baik. Mungkin.
Xander dan aku selalu menghabiskan hari-hari bareng, tapi aku ngga benar-benar yakin dia sungguhan suka aku. Dia begitu sering membuatku cemburu dengan dekat dengan banyak gadis -aku tahu mereka cuma teman, tapi... Ah, entahlah.
Terakhir kali dia sepertinya dekat dengan murid baru di kelasnya. Dari yang kudengar dari sahabatku yang berada di kelas Xander, mereka dekat seperti lebih dari teman. Aku tidak percaya, tentunya, tapi aku tidak pernah tahu.
Tapi kurasa itu benar.
Aku melihat sendiri mereka. Aku tahu ini konyol, tapi aku pernah berpura-pura ke toilet untuk melewati kelas mereka yang kebetulan sedang kerja kelompok sehingga bebas berjalan-jalan kemana pun. Dan dia bersama cewek itu dan meski pun aku tak ingin percaya, tapi mereka kelihatan begitu dekat, membuatku iri setengah mati.
Aku tak bisa sedekat itu dengannya.
Bukan salahku. Aku tidak menutup diri, tapi tidak juga dia menutup diri dariku. Ya ampun! Bahkan aku tidak bisa berkata-kata dengan benar lagi. Yah, intinya, aku tak pernah bisa sedekat itu dengannya. Dia terlalu sulit kujangkau, meski pun dengan status kami sekarang... yah, kau tahu lah.
Aku berusaha menahannya belakangan tapi ah, perasaan cemburu ini bisa membuatku mati.
Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Mungkin ini salahku... Aku tidak bisa menghadapi Xander.
Aku tahu. Aku yang menyatakan semuanya. Aku yang memulai semua ini dan aku tidak bisa mundur. Tapi tahukah kalian kenapa aku melakukannya?
Well, yeah, aku cemburu. Pada setiap cewek yang dekat dengannya, dan aku merasa konyol karena waktu itu kami tidak punya hubungan apa pun. Jadi aku tidak tahan lagi dan mengatakan semuanya.
Itu benar-benar hal paling memalukan yang pernah kulakukan. Ya deh, semua cewek bicara tentang emansipasi dimana cewek punya hak sama kayak cowok, cuma ya... Tahulah, lebih gampang berteori dari pada praktek.
Ini pasti akibat saran bodoh teman-temanku, yang mendorong-dorongku menyatakan perasaanku pada Xander. Oh ya Tuhan, dan sekarang? Sekarang apa? Aku dan dia pacaran?
Iya.
Ya Tuhan. Aku tidak tahu harus apa lagi. Aku benar-benar tidak bisa menghadapi Xander. Dia terlalu menawan untukku. Bahkan aku tidak berani menatap matanya, karena aku tahu, aku akan terjerat lebih dalam lagi padanya.
Ya ampun. Apa kata-kataku terlalu puitis? Tapi aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa, karena aku mengatakan yang sebenarnya.
Yap, Xander terlalu sulit kujangkau, bahkan hingga sekarang.

"Anya!"
Suara itu membuatku menoleh. Tentu saja aku tahu suara siapa itu, dan meski insting menghindarku belakangan berusaha lari, tapi kakiku tetap bertahan.
Kadang aku sebal karena tubuhku lebih menuruti hati dari pada otakku. Aku memang sangat ingin melihatnya, tapi aku tetap berusaha menghindarinya. Apa boleh buat, semakin sering bertemu dengannya, aku akan semakin kacau karena aku tidak bisa menghadapinya.
"Kamu ke mana sih belakangan ini?" Xander sudah berdiri di depanku. Ya Tuhan, aku benar-benar mengagumi makhluk ciptaanmu satu ini. Xander benar-benar terlalu menawan.
Aku menunduk, menggerak-gerakkan kakiku gelisah. "Mmm... Sekolah."
"Ya, tapi aku ngga pernah lihat kamu!" katanya, kentara sekali sebal.
Ouch.
Jadi dia bahkan tidak pernah mencariku?
"Hmm..." Aku hanya bergumam tak jelas.
"Kamu ke mana aja?" Suaranya melembut.
Aku mendongak dan menemukan matanya, dan aku yakin sekali pipiku merona sekarang. Aku buru-buru menunduk lagi dan menggesekkan ujung sepatuku dengan lantai. "Aku... Aku di kelas, di sekolah, di rumah..." Aku kacau.
Aku merindukanmu. Ingin sekali aku mengucapkannya, tapi, tidak, tidak, aku tidak berani.
"Anya?" tanyanya sekali lagi. Oh Xander, jangan panggil aku begitu lagi. Aku benar-benar sudah kacau.
Bel selesai istirahat segera menyelamatkanku. "Uuh... Sudah bel, aku masuk dulu ya!"
Ini konyol, karena meski pun aku tahu sudah bel, saat dia tidak menahanku sama sekali, rasanya sakit.

Aku kacau.
Ini kesekian kalinya aku mengulang kata yang sama, tapi sejujurnya, aku memang sungguh amat kacau. Tidak, aku tidak tahu mengapa persisnya, tapi... ah sudahlah.
Aku sama sekali tidak fokus selama pelajaran berlangsung. Teman-temanku bertanya padaku kenapa, dan aku tidak bisa menjawabnya dengan jujur.
Maksudku. Aku selalu bilang aku baik-baik saja karena secara fisik aku memang baik-baik saja. Tapi aku tidak tahu dengan hatiku.
Xander terlalu menawan... dan dekat dengan terlalu banyak cewek.
Dalam hati aku sedikit menyesali karena aku tidak sekelas dengannya. Tapi setelah kupikir lagi, untunglah, karena aku tidak akan bisa belajar dengan penuh konsentrasi apabila dia ada di ruangan yang sama denganku.
Sekarang saja fokusku buyar.
Aku bahkan tidak sadar jika bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu dan guru yang mengajar sudah tidak ada di depan kelas. Teman-temanku, kurasa, sempat bertanya padaku, tapi mungkin kujawab setengah sadar? Aku tidak tahu karena sekarang kelas sudah kosong total.
Huh? Aku melamun? batinku sambil membereskan buku-bukuku dan memasukkannya ke dalam tas, lalu siap berdiri dan-
Dan kurasa aku sekacau itu sampai tidak menyadari Xander ada di pintu kelasku, dengan pandangan total terarah padaku.
Uh-oh.

"Kita harus bicara."
Kalimat pertama yang dikeluarkannya setelah beberapa detik terdiam.
"Hmm.." Pura-pura bodoh saja. "Ada apa emangnya?"
Xander mendengus kesal dan berjalan mendekati mejaku. "Ayolah, Anya, kamu menghindariku. Kenapa, hm?"
Oh, dia sadar. "Ngga kok. Aku cuma sibuk..."
Xander duduk di bangku yang ada di depanku. "Kamu bisa sibuk apa sampe ketemu aku berapa menit aja ngga bisa?"
Susah kalau mau berdebat dengan Xander. "Aku sibuk..." Tapi aku masih saja mengelak.
Terdengar hembusan napas kasar dari depanku. Xander lelah denganku, mungkin? Mungkin dia sudah punya yang lebih baik dariku...
Hatiku sakit memikirkan kemungkinan ini.
...dan akan memutuskanku.
"Anya." katanya, lembut tapi tegas. Aku ingin menatap matanya, tapi oh, dia terlalu menawan. Jangan. Nanti aku terjerat terlalu dalam dengannya.
"Ya?" kataku sambil menunduk dan memainkan risleting tasku.
"Jujur sama aku. Kamu kenapa?"
Oh, aku ingin menangis. Aku kangen Xander dan perhatian-perhatian kecilnya. Rasanya ngga rela banget kalau ada cewek lain yang dapet perhatian kayak gitu juga... Jangan-jangan aku di matanya hanya teman biasa, lepas dari status pacar yang melekat.
"Aku ngga apa-apa..." ucapku masih perlahan.
"Tatap mataku Anya." Suaranya tegas mendesak.
Aku mendongak enggan, tapi begitu menemukan matanya, aku buru-buru menunduk. "Ngomong aja, ada apa?" Kamu mau mutusin aku?
"Anya!" serunya kesal. Jemarinya mengangkat daguku hingga mata kami bertemu. Aku berusaha memberontak, tapi sia-sia saja.
Karena mataku keburu bertemu dengan matanya. Beberapa detik. Dan rasanya aku meleleh... Aku bisa merasakan dengan jelas pipiku memanas dan jantungku berdentum... terlalu cepat.
Oh, aku benar-benar sudah jatuh terjerat terlalu dalam.
"Kamu bahkan ngga mau bertatapan denganku," katanya selembut sutra, dan aku masih tidak bisa lepas dari matanya meski dia sudah menurunkan tangannya. "Kenapa?"
Aku... Aku ngga bisa jawab. Ngga ngga ngga, aku berusaha melepaskan diriku dan menunduk lagi, kali ini memainkan jemariku. "Ngga apa-apa."
"Anya!"
Oh dia kesal setengah mati denganku.
"Aku ngga akan tahu apa yang kamu mau kalo kamu ngga mau ngomong!"
Aku harus bilang apa? Masa' iya aku bilang aku takut meleleh? 'Kan ngga masuk akal.
Ya... Kalau boleh dibilang, "aku malu," gumamku pelan.
Bagus! Aku mengucapkannya!
"Malu?" Bisa kurasakan Xander mengerutkan dahinya. "Kamu malu denganku? Kamu malu punya pacar kayak aku, begitu?"
Kenapa dia jadi mengartikannya begitu?
"Xander, aku ngga-" Aku mendongak, dan ucapanku menggantung di udara saat aku mendapati senyum pahit di bibir Xander yang mulai berdiri.
"Kalau kamu malu bareng aku, bilang dari awal. Kamu yang minta pertama kali kan?" Xander  menunduk, mengecup pipiku sebentar dan mengelusnya. "Kalau begitu, lebih baik kita ngga bareng."
Dan aku masih terdiam, berusaha mencerna apa yang terjadi, sampai Xander menghilang di pintu kelasku.
Kenapa jadi begini?
Mungkin saja, dia memang ingin memutuskanku. Aku yang minta pertama kali, katanya. Tapi dia kasihan denganku, jadi dia mencari-cari alasanku hingga aku minta putus darinya... supaya dia tidak merasa bersalah. Dan dengan bebas dariku, dia bisa memacari cewek yang dia sukai.
Jadi selama ini dia cuma kasihan denganku.
Ah, menyedihkan sekali nasibku. Aku merasakan air mataku mengalir.
Akhir dari kisah cintaku.

XANDER
Jadi dia cuma mengerjaiku?
Jangan-jangan dia sebenarnya tidak menyukaiku dan hanya mempermainkanku. Hoh, sakit sekali. Sejak awal dia ngga benar-benar mau denganku. Semua yang dia katakan hanya permainan.
Dia malu denganku.
Dia malu ada aku di sampingnya, sebagai pacarnya.
Jadi begitu? Dia malu punya pacar seperti aku?
ARGH! Benar-benar sakit sekali. Dia malu denganku ya, baiklah, baiklah.
Apa aku begitu memalukan?
Anya, Anya. Tega banget sih mempermainkanku. Aku tulus dengannya, aku benar-benar senang bareng dia.
Aku menendang kerikil tak berdosa di depanku.
Oh, atau bisa jadi dia memang menyukaiku. Pada awalnya. Tapi dia sudah menemukan cowok lain yang lebih baik, lebih tidak memalukan dariku...
Hatiku panas.
Ya, mungkin saja. Beberapa hari ini dia menghindariku. Ciri-ciri pasangan selingkuh begitu kan? Rasanya panas membayangkan selama ini dia sudah bertemu orang lain, yang tidak membuatnya malu...
Eh?
Apa tadi yang aku katakan? Tidak membuatnya malu? Tunggu, jangan-jangan maksudnya?
ASTAGA! Kurasa aku yang bodoh di sini.
Dulu dia bilang, dia malu, dia malu karena telah menyatakan perasaannya. Jadi itu yang dia maksud? Aku berbalik kembali ke sekolah dengan cepat. Ya Tuhan, aku telah menyakitinya. Dia malu denganku...
Aku berlari kembali menuju kelasnya, tapi menemukan pemandangan mengejutkan.
Itu... Itu Leo. Salah satu dari teman-teman konyolku. Dia ada di sana, di sebelah pacarku, dan... dan...
Dan hatiku panas.
Mereka berdua tertawa bareng, seolah-olah di dunia ini hanya ada mereka berdua.
Mungkin benar, dia sudah menemukan yang lebih baik dariku. Dan malu itu cuma alasannya agar bisa putus dariku.
Aku mendengus pelan dan berbalik kembali meninggalkan sekolah.
Dan hatiku.

Aku kembali ke sekolah keesokan paginya tanpa semangat atau apa pun. Ah sudahlah, sejak kapan juga aku semangat sekolah.
Pernah, waktu ada Anya.
Tapi ngga lagi sekarang.
Aku menghempaskan tubuhku di kursi dan memejamkan mata. Berharap bisa melupakan apa pun itu yang membuatku panas.
"Xander!"
Suara cewek yang sangat kukenali. Aku berharap itu Anya, tapi tentu saja, itu cewek ngeselin yang adalah sepupuku sendiri. "Apaan sih Lan?" kataku ketus.
"Idiih, pagi-pagi udah galak aja... Kenapa lo, galau?"
"Sialan, ngga usah keras-keras kenapa!" Aku membuka mataku dan memukul punggungnya.
Lana adalah sepupuku, sekaligus sahabatku sejak kecil. Meski pun ngeselin, tetap saja, dia saudaraku yang sudah kuanggap seperti saudara kandung. Kami akrab sejak dulu dan sejak Lana pindah ke sini, dia semakin sering menggangguku.
Lana cantik, kuakui, dan banyak yang mengejar-ngejarnya. Termasuk teman-teman konyolku...
Heh? Benar juga, jika Leo bahkan mengejar-ngejar Lana, jadi ada apa dengan Anya...
Aku menoleh ke jendela dan secara kebetulan, menemukan Anya lewat di sana. Buru-buru aku berlari keluar kelas tanpa menghiraukan Lana yang setengah bertanya-tanya, tapi tetap saja, tidak peduli. Tidak butuh waktu lama untuk bisa mencekalnya, karena kali ini, tidak seperti dulu, aku tidak memanggil namanya yang memungkinkan dia untuk tahu bahwa aku sedang mengejarnya. "Anya," panggilku, baru setelah mencekal lengannya.
"Lepaskan aku," gumamnya pelan.
Dia bahkan tidak mau menoleh padaku. Ouch. "Anya, dengerin dulu dong. Kita perlu bicara."
"Apa lagi yang perlu dibicarain?" Aku bisa mendengar kata-kata tersirat di dalamnya, 'Bukankah kita sudah selesai?'
"Maafkan aku, Anya," ucapku tulus. Dan seperti terpaku pada ucapanku, dia sama sekali tidak memberontak saat kuseret ke taman belakang sekolah sepi.
Taman itu masih sama seperti beberapa minggu lalu dengan bunga yang berbunga-bunga. Heh, bahasaku. "Anya?" panggilku sambil mengelus rambutnya.
Anya seperti baru sadar di mana dia. "A-" Dia benar-benar kebingungan.
"Kamu baik-baik aja?"
"Aku-" Dia kayak ngga tau mau ngomong apa. "Xander, ngapain...?"
Kita ke sini, aku mendengar kata-kata tak terucap itu. "Anya, aku mau meluruskan."
"Ngga, aku-" Aku buru-buru menahan lengannya yang mulai ingin berdiri.
"Dengerin aku dong, Anya."
Dia masih tidak mau menatapku, batinku miris. "Anya, lihat aku plis."
Dia menggeleng enggan.
Terpaksa aku gunakan cara kemarin. Aku mengangkat dagunya. "Anya."
Anya terpaku padaku, aku tahu. Dan aku suka sekali caranya menatapku. Anya selalu tahu bagaimana membuat jantungku berdetak cepat. "Maaf. Aku ngerti maksud kamu kemarin."
"Xander?" tanyanya ragu dan mulai melepas tatapannya.
Ah ah, tidak secepat itu nona. Aku menahan dagunya sehingga dia menatapku lagi. "Tatap aku, Anya."
"Xander, aku..."
"Maaf kalau aku salah paham kemarin... Aku pikir..." Aku menghela napas panjang. "Aku baru menyadarinya saat pulang. Aku langsung balik, tapi..." Aku tersenyum kecut. "Kamu lagi sama Leo."
Bibir Anya terbuka sedikit.
"Maaf, aku langsung ngga bisa berpikir jernih. Aku... cemburu." Aku mengakuinya. Masa bodo dengan gengsi, yang penting Anya jatuh ke pelukanku lagi. Aku mengelus rambutnya. "Aku minta maaf kalau aku terlalu bodoh. Kamu mau maafin aku kan, Anya?"
Anya hanya terdiam dan mulai berdiri. Baiklah, aku ngga menahannya lagi. Mungkin dia terlalu sakit denganku. Kalau dia memang tidak senang bersamaku, lebih baik kita ngga bareng.
Tapi setelah beberapa langkah, Anya mengejutkanku dengan berlari menubrukku.
"Anya..." Aku speechless.
"Maaf, aku minta maaf, Xander..." Dia menangis? Astaga. Aku mengelus rambutnya, menenangkannya.
"Kenapa kamu minta maaf?" Aku balas memeluknya. "Kamu ngga salah, aku yang salah," bisikku.
"Maaf, aku ngga bisa mikir kalo itu berhubungan dengan kamu," katanya, suaranya masih sedikit bergetar akibat tangis. "Ada temenku yang bilang kamu terlalu deket dengan cewek baru di kelas kamu, yaa... Aku cemburu."
Cewek baru?
Aku berpikir sejenak.
Astaga! Pacarku cemburu dengan Lana?
"Aku ngga sekelas sama kamu, dan aku takut... Kamu terlalu menyebalkan. Banyak banget cewek..."
Kata-katanya terpotong-potong, tapi aku paham maksudnya. Aku terkekeh. Dia cemburu karena cewek-cewek di sekitarku?
Aku mengeratkan pelukanku. "Tapi aku sukanya sama kamu. Gimana dong?" bisikku mengulum senyum.
Tubuhnya menegang seketika, dan aku bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Berani taruhan, pipinya merah. "Xander..." katanya merajuk.
"Kalau kamu cemburu sama Lana... Hmm, dia sepupuku, Anya. Kamu cemburu sama sepupuku sendiri?" kataku terkekeh.
"A...?" Anya mengurai pelukan kami dan menatapku tidak percaya, lalu seketika membuang muka.
Ah, dia malu. Aku menarik dagunya. "Ayolah, jangan malu."
Dia memukul pundakku sebal, membuatku terkekeh lagi.
"Jadi gimana? Kita pacaran kan?"
Anya hanya mengangguk pelan.
"Apa? Aku ngga denger?" tanyaku menggodanya.
"Iya!" serunya sebelum kabur.
Oh, dengan mencuri ciuman di pipiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)