Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Welcome to KCRdA weblog | take parcitipate with us | read stories | comment | send stories

Minggu, 25 Januari 2015

[CERPEN LOMBA] 3. One Day

3. One Day
Dewi Pangestu

“Jangan pernah temui aku lagi!”
“Melihatmu saja aku muak! Menyingkir!”
Pria itu dengan sengaja menabrak bahu wanita yang tengah bertengkar dengannya. Dia berlalu. Wanita itupun terlihat geram dan pergi ke arah yang berlawanan. Melewati aku yang tengah berjalan. Drama sekali, pikirku. Kembali aku menatap sekitarku. Mencari seseorang.


“Hay Vin. Sedang apa?” Seorang pria menyapaku. Aku berusaha acuh dengannya. Meskipun aku mengenalnya.
“Emm baiklah, sepertinya orang yang kau cari sudah dating, permisi.” Orang itu pergi.
“Disini kau rupanya, Vina.” Seseorang menepuk pundakku. Lantas aku menoleh. Yap! Namaku Vina.
“Aku menunggumu sejak tadi di dalam. Ku kira kau ingat tempat janjian kita.” Ucapnya.
Astaga, rasanya ingin menertawakan diri sendiri. Tempat yang kami pilih sebagai tempat janjian ternyata terlewat beberapa langkah olehku. Kalau saja sahabatku ini tak menegurku, entah aku sudah berjalan kemana.
“Cepatlah, nanti coklat panasnya tidak panas lagi.” Ia menggandengku masuk.
“Iya.”
Harum aroma cokelat memenuhi ruangan ini. Choco Café. Yaa sesuai namanya. Disini menyediakan minuman cokelat panas ataupun dingin. Juga kopi. Musim hujan begini rasanya sangat pas untuk mampir kesini.
“Jadi bagaimana? Apa ayahmu setuju kamu berpartisipasi?” Tanyanya.
“Entahlah, Raf. Aku sendiri belum memiliki cukup nyali untuk bertanya padanya. Kau tahu bagaimana ayahku. Semua harus resmi. Semua.” Gerutuku. Raf? Namanya Rafael.
Rafael menyeruput cokelat panasnya. Pandangan matanya seperti tengah berfikir. Akupun menyeruput cokelat panasku. Cukup lama suasana hening. Hingga akhirnya petir mengagetkan seisi café. Hujan kembali turun. Deras.
“Sepertinya kita harus menginap di café ini.” Gurau Rafael seraya menahan tawanya. Akupun demikian.
“Kalau begitu pesanlah kamar untuk kita.” Balasku.
“Aku belum ingin mati di tangan ayahmu.”
“Maksudmu?”
“Ayahmu.” Rafael menaik turunkan alisnya. Aku faham dan kami pun tertawa.
“Haa.. Lalu bagaimana soal rencana pensi yang kita rencanakan?” Rafael membenarkan posisi duduknya dan menatapku intens. Sungguh itu tatapan yang sangat membuatku luluh.
“Emm, ya aku juga sebenarnya merasa tidak enak dengan yang lain.” Aku memainkan sendok yang ada di dalam gelasku.
“Kalau tidak enak kenapa tidak cepat ambil keputusan?”
“Aku tidak siap bicara se-serius ini dengannya.” Kesalku.
“Ayo, temui ayahmu.” Rafael langsung menggandengku. Ku lepas.
“Tidak se-bercanda itu, Raf.”
“Aku serius. Cepatlah.”
“Tidak.”
“Ya sudah.” Rafael kembali duduk dan memainkan ponselnya.
“Raf.. Jangan marah, Aku harus bagaimana..?” Aku membujuknya. Nihil. Rafael hanya diam dan seperti begitu serius dengan ponselnya.
“kau marah?” tanyaku hati – hati.
“Tidak.” Jawabnya singkat.
Sejak penolakanku untuk bertemu ayah membuat Rafael diam dan enggan bicara. Hanya berpamitan pulang. Aku menjadi sangat khawatir. Aku berjalan pulang dengan lesu. Mobil Rafael melewatiku. Huh.. menyesal aku membuatnya diam.
-skip-
Sampai juga di rumah bernuansa putih ini. Rumahku. Heran, itu yang aku rasakan. Kenapa ada 2 mobil? Yang satu ya seperti biasa, mobil ayah. Dan mobil satunya lagi pun seperti taka sing dimataku. Seperti…
Buru – buru aku berjalan memasuki rumahku. Pintu utama yang terbuka pun membuatku leluasa masuk dan jantungku seperti ingin copot saat melihat adikku duduk di sofa.
“Hay, Kak.”
“Reno? Di depan itu mobilmu?” Tanyaku.
“Bukan. Tamu ayah.” Jawabnya sambil asyik bermain psp.
“Tamu ayah? Rekan kerjanya?”
“Tidak tahu. Ada di ruang kerja ayah. Tampan sepertiku,” Jawabnnya sedikit bergurau.
“Apa matanya sipit?”
“Aah sudah sana lihat sendiri, mengganggu acar mainku saja.” Reno memunggungiku.
Tanpa menunggu lagi aku bergegas naik ke lantai 2. Ke ruang kerja ayah yang berada tepat disebelah kamarku. Perlahan ku ketuk pintunya.
“Masuk.”
Perlahan ku buka pintu dan mataku terbelalak melihat siapa yang duduk menghadap ayah. Rafael! Apa yang dia lakukan….
“Masuk dan duduklah, temanmu membuat ayah tertarik untuk mensponsori pensi di kampusmu itu. Rafael tersenyum jahil ke arahku.
“Baik, Yah.” Aku segera mengambil posisi duduk disebelah Rafael. Ayah Nampak tersenyum melihat kami duduk berdampingan. Aku justru sebal dan ingin cepat – cepat menginterogasi Rafael.
“Kalian sahabatan sudah lama, bukan?” Tanya ayah.
“Sejak SMA, Om.” Rafael antusias. Ayah tertawa kecil dan terlihat seperti menyukai kehadiran Rafael.
“Vina.. Vina. Kenapa tidak pernah mengajak Rafael main kerumah. Rafael anak yang pintar dan sejak tadi cukup membantu ayah.”
“Emm.. Vina..”
“Mungkin Vina malu Om. Vina kan belum pernah dekat dengan pria manapun kecuali saya.” Potong Rafael.
“Ohaha jadi rupanya anak ayah ini hanya dekat dengan Rafael? Wah.. Membuat gadis – gadis iri saja.” Balas ayah. Rafael hanya tertawa. Tidak denganku. Aku hanya tersenyum paksa.
Bagaimana bisa ayah yang biasanya penuh dengan keseriusan bisa se-bercanda ini? Mantera apa yang Rafael gunakan untuk menaklukan ayah? Apakah sejak awal begini? Errgh.
“Ngomong – ngomong ayah merasa senang jika kalian mendukung acara pensi di kampus kalian. Itu bisa membuat mahasiswa maupun mahasiswi yang punya bakat bisa tersalurkan. Benar begitu, Raf?” Ayah.
“Betul sekali, Om. Jadi apa om setuju untuk mensponsori kami?”
Aku menatap Rafael penuh Tanya. Rafael hanya tersenyum seolah memintaku agar tenang. Seperti menjanjikan semua akan baik – baik saja. Akupun terdiam dan kembali menatap ayah penuh harapan.
“Setelah ayah fikir rasanya boleh..” Ayahku tersenyum. Rafaelpun tersenyum lega.
-skip-
Hari ini hari dimana pensi digelar, sudah berlangsung sejak 1 jam lalu. Semua berjalan rapi sesuai rencana. Baiklah kini giliran 2 mahasiswa yang naik ke atas panggung. Rangga bersama Bisma.
“Itu Rangga yang menyatakan cinta padamu tempo hari, kan?” Rafael berbisik.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Ayolah, dia kan teman kita juga, apa salahnya kau terima? Lagi pula dia baik.” Rafael melihat ke arah Rangga yang tengah bersiap.
“Bukan seleraku.”
“Haha gadis pendiam sepertimu punya selera juga? Seperti apa?” Rafael kepo.
Sungguh dalam hatiku menjerit keras memanggil Rafael. Sejak aku dekat dengannya, rasa saying sebagai sahabat seketika berubah menjadi lain. Aku menyayanginya dan benar – benar tidak ingin kehilangan. Tapi rasanya tak mungkin aku mengatakannya. Aku kan wanita. Tidak pantas.
“Hey..” Rafael melambaikan tangannya dihadapanku.
“Sudahlah tidak penting.”
“Ya sudah.”
“Lagu ini saya persembahkan untuk Vina, gadis manis disana.” Rangga menoleh ke arahku membuat semua mata tertuju padaku. Astaga. Akupun membuang muka. Rafael menatapku.
“Hargailah.”
-skip-
Sebulan berlalu, aku dan Rafael yang berbeda kelas ini sama – sama sibuk dengan tugas yangmenumpuk. Bertemupun sudah sangat jarang. Aku rindu semua itu, Raf. Sesekali aku berpapasan dengannya. Tak ada obrolan, hanya tegur sapa biasa.
“Vin!” Teman sekelasku, Rika namanya. Dia berjalan kearahku. Sedikit berlari.
“Iya, kenapa?”
“Apa kau tidak ingin menyaksikan Rafael menyatakan cintanya dengan Ranita? Cepatlah..” Rika menggandengku untuk segera menuju taman belakang.
Deg.. Deg.. Deg..
Rasanya aku ingin menyudahi hidup ini. Rafael, sahabat yang selalu aku sayang dan aku dambakan sebentar lagi akan dimiliki oleh wanita lain yang tidak ku kenal. Petir, sambarlah aku.
Saat sampai di tempat, tiba – tiba Rangga berjalan kearahku dan menarikku pergi. Entah kenapa aku menurutinya. Mungkin efek patah hati. Rangga terus membawaku menjauh dari lokasi. Sekarang kami ada di lorong kelas.
“Jangan memaksakan diri untuk melihat hal – hal yang tidak baik.” Ketusnya.
“Rafael? Dia baik.” Ketusku balik.
“Setelah semua terjadi? Masih kau anggap baik? Mungkin masih, tapi tidak untuk saat ini, Vin.”
Aku terdiam, ada benarnya juga.
“Aku memang menyukaimu, tapi bukan berarti aku menyukai semua yang ada pada dirimu. Seperti saat kau tengah bersama Rafael, enggan aku melihatmu.” Sambungnya.
“Rafael memang sahabatmu, akupun tahu kau menyukainya. Tapi sudah jelas tidak ada harapan. Pintarlah sedikit! Jangan memaksa dirimu untuk sakit hati.” Sambungnya lagi. Lalu Rangga berlalu dari hadapanku.
“Tunggu.” Aku mencegahnya.
“Aku harus apa?” Tanyaku dengan mata berkaca.
“Kalau merasa mampu, tetaplah berada disisi Rafael. Temani hidupnya selayaknya seorang sahabat. Jika tidak, terserah.” Rangga melanjutkan langkahnya.
Aku termenung. Menunduk. Mencoba meresapi kalimat demi kalimat yang Rangga ucapkan. Dia benar, aku menyiksa diri jika terus bersama Rafael. Tapi.. Di sisi lain aku tidak ingin kehilangan. Tiba – tiba ku rasakan tangan seseorang menyentuh bahuku. Aku mendongak.
“Tenanglah, fokuskan dirimu untuk yang lain. One day, kau akan menjadi yang terbaik dan mendapatkan yang terbaik. Mungkin Rafael sangat baik bagimu, tapi belum jadi yang terbaik.” Ujarnya. Aku mengangguk dan tersenyum. Orang yang selama ini aku hiraukan ternyata benar – benar diluar dugaanku. Dia peduli. Rangga, maaf selama ini aku bersikap acuh.



Hallo namaku Dewi Pangestu. Cukup panggil Dewi / Depang saja yaa.. Aku kelahiran 1998 dan bertempat tinggal di Ciledug Tangerang. Hobiku membuat cerita. Meski jarang aku mau mempublikasikannya, Hehehe.. Semoga cerpen kali ini bisa berkesan dan membuat kalian suka yaa.. Terima kasih^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)