Karya Melinda Adelia Jenita Werner
Aku berusaha tidak mendengar, tidak mendengar apa yang dibicarakan olehnya. Aku capek bicara sama dia. Ngomong yang tidak aku ingin dengarkan darinya. Diam sambil mendengarkannya membuatku bosan!
“Arika!”
Waaawwww, oh my God! Sekarang dia memanggil namaku. Apakah dia iri dengan namaku yang bagus atau dia ingin bertukar nama padaku? Aku mengabaikan panggilan darinya.
“Arika! Arika!”
Ckckck! Gila ya tuh anak. Menyebut nama panggilanku dua kali. Mau ngapain sih dia? Mau lomba makan denganku? Silahkan saja!
“Fanellia Arrikia Kabrana!”
Wus! Lebih dari gila nih, sampai-sampai dia menyebut nama panjangku. Mungkin dia lebih iri dengan nama belakangku, karena terkait dengan kata mantra dengan ular kobra. "Gubrak!"
“Arika! Kamu ini tuli, ya? Aku ingin cerita tentang pacarku!”
Adoh! Pengen pingsan gue mendengarnya. Mendengar cerita tentang pacarnya? Waduh, bakal ancur telingaku kalau begitu caranya.
Aku langsung mengambil tasku dan segera pergi dari kelas. Aku kabur tidak menunggunya. “Sorry, Lyfa!”
Mukanya terlihat cemberut mendengar itu dan melihatku berlari keluar dari kelas. Aku tertawa ngakak setelah jauh dari kelas.
Sebenarnya aku memang tidak suka mendengar cerita dongeng kayak begituan. Membuang waktuku saja. Setiap hari, Lyfa menceritakan tentang pacarnya padaku. Itu membuatku ingin mual mendengarnya. Makananku pun sering tidak habis karena mendengar ceritanya saja.
Dari hampir semua teman sekelasku yang cewek, banyak yang keheranan, kenapa aku tidak pernah punya pacar sampai sekarang. Setiap aku masuk kekelas, hampir semua murid melihat kearahku sambil berbisik-bisik. Aku hanya cuek saja. Tidak penting juga kalau memarahi mereka karena hanya hal itu.
Tiba-tiba saja, aku mendapat cobaan yang membuatku tambah bosan. Hari demi hari, dia membuatku sangaaaaaaaatttt bosan. Tapi entah kenapa, itu juga membuat detik hariku menyenangkan.
Beginilah awal dari hidupku yang menurutku kurang tenang dan menyenangkan.
•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•
Part:1. (Dia Adalah Sepupuku)
Hai, namaku Fanellia Arrikia Kabrana. Panggilan akrabku Arika. Aku duduk dikelas 9 SMPN Lintang Grama, dan sebentar lagi aku akan melanjutkan sekolahku di SMA. Kata Mama, aku orangnya gampang emosi, tidak menyerah, ceria, kadang suka melamun, dan juga gampang bosan. Benar, aku memang mudah bosan. Bosan menjalani hari sekolahku. Melewati hari-hari yang menurutku sama saja, dari senin-minggu dan seterusnya. Semuanya sama saja.
Dengan seperti biasa, aku melewati jalanan ini menuju sekolah dengan sepedaku. Juga melewati pohon-pohon mangga yang tidak ada buahnya sama sekali, rumah-rumah, dan lainnya.
“Arika!” Panggil Lyfa didepan rumahnya. Aku mengayuh sepeda kerumah Lyfa. Rambutnya dikucir satu yang bentuknya mirip buntut kuda melambai-lambai karena kaki Lyfa melompat-lompat melihatku muncul.
“Ayo, duduk dibelakangku.” Kataku agak cepat.
Lyfa senang. Dia segera duduk dibelakangku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan normal.
Titania Lyfatmara, yaitu gadis berambut kucir satu yang biasa dipanggil Lyfa oleh teman-temannya. Lyfa menganggapku sebagai sahabatnya ketika pertama aku kenal dengan Lyfa saat kelas 7 karena aku lucu. Lucu???
Aku tidak terlalu menganggap kalau Lyfa adalah sahabatku. Entah kenapa, diriku ini benar-benar aneh.
Dari semua teman sekelasku, hanya Lyfa yang ingin berteman denganku. Kalau yang lain? Mereka hanya menyapaku dan pergi. Sebagiannya lagi, ada yang tidak suka dengan kedatanganku disekolah. Aku tidak tahu kenapa seperti itu. Ya, menurutku itu hal yang tidak penting untuk dipikirkan. Aku juga tidak suka bergaul dengan mereka.
Kami berhenti di parkir sepeda. Lyfa turun dari dudukannya. Wajahnya begitu cerah.
“Kamu duluan saja. Aku mau cari tempat sepedaku dulu.” Kataku kepada Lyfa tanpa melihatnya.
“Hmm, oke deh. Aku tunggu dikelas ya, dahh ...” Kata Lyfa dan berjalan pergi kedalam sekolah.
Aku mencari tempat sepeda yang kosong. Kelihatan sudah penuh, tapi pastinya ada sisa tempat lagi.
Tepat yang aku pikirkan, aku menemukan satu tempat yang kosong. “Aha, itu dia.”
Langsung saja aku menyeret sepeda unguku itu ketempat kosong yang telah aku cari sebelum ada yang mengambilnya. Saatnya aku masuk kekelas. Waktunya tinggal 10 menit lagi, sebaiknya aku bergegas.
Aku mengambil langkah berjalan kesekolah yang membosankan. Sekolah yang bertaraf Internasional, namun tidak terlihat dimataku. Aku ingin sekali cepat-cepat menjauh dari sekolah ini. Melupakan semua hal yang terjadi disini. Ingin mendapatkan hari yang lebih indah dari ini dan mendapatkan banyak teman. Itu yang aku inginkan dalam dunia sekolahku.
Dari nilai positif yang kudapatkan disekolah ini, dalam ujian aku selalu mendapatkan nilai yang tinggi dan dikagumi oleh adik kelas 7 dan 8. Entah kenapa aku dikagumi oleh adik-adik kelas disini, aku tidak tahu.
“Kak Arika!!!”
Aku menoleh. Dua cewek kembar sedang berlari kearahku. Itu Ani dan Ina, murid kelas 7 yang satu-satunya mempunyai murid kembar disekolah ini. Rambut panjang mereka yang sama, yang berbeda hanya gaya Ani yang memakai kacamata. Dengan itu, aku bisa membedakan mereka.
“Hai, Kak Arika! Kakak cantik banget hari ini!” Seru Ina sambil memelukku.
“Kak Arika rambutnya tambah panjang, ya. Kakak jadi lebih cantik!” Kata Ani juga dengan senyum manisnya. Dengan manis, dia membenarkan kacamatanya yang mulai merosot.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar mereka. “Terima kasih Ani, Ina. Kalau begitu, Kakak mau masuk kedalam kelas dulu, dadah ...”
“Dah, Kak!” Balas mereka sambil melambaikan tangan kepadaku.
Kelas 9-B, itu adalah kelasku. Aku masuk kedalam ruangan yang berisi banyak meja dan kursi itu. Seperti biasanya, sebagian teman-teman sekelasku melihat kearahku. Aku hanya diam sambil berjalan ketempat duduk.
“Hai, Arika,” sapa Lyfa sambil berjalan dan duduk disampingku. Wajahnya masih cerah seperti matahari yang tersenyum.“aku mau bicara kalau ...”
“Membicarakan tentang pacarmu? Silahkan, aku siap untuk mendengarkan,” kataku memotong perkataan Lyfa yang belum selesai, seakan aku tahu apa yang akan dikatakannya. “tunggu apa lagi.”
Lyfa menggaruk kepalanya. Wajahnya mendadak murung.“Gimana menjelaskannya, ya? Sebenarnya mulai kemarin aku udah putus dengannya.” Jari telunjuk kanannya memainkan ujung rambutnya yang dikucir. Dia menghembuskan napasnya dengan berat seperti sedang menerima kenyataan yang tidak ingin dilihat. Aku hanya terkejut sebentar saja.
“Lho, kenapa?” Tanyaku pura-pura ingin tahu. Didalam hati, aku berkata, “ baguslah kalau begitu.” Dengan begitu, penyakit Migran-ku akan sembuh total dan tidak akan kembali lagi. Selama cerita itu tidak ada.
“Ternyata dia punya pacar yang lain, jadi kami putus.” Jawab Lyfa dengan lemas. Matanya dipejamkannya dengan lama. Kejadian yang tidak ingin itu terjadi padanya, dia ungkapkan kepada sahabatnya.
“Waduh, kamu sabar ya, pasti ada cowok yang lebih baik lagi diluar sana. Tunggu saja, deh.” Kataku sok menghibur. Tapi, aku bisa merasakan hati Lyfa saat ini. Pasti dia mencoba menyembunyikan kesedihannya itu dengan menceritakannya kepadaku. Mencoba bertahan kuat meskipun terasa sangat sulit. Membuat bangunan itu kembali kokoh seperti semula, ternyata tidak semudah yang Lyfa kira. Pria yang dia cintai, ternyata berakhir begitu menyakitkan dan sia-sia. Semua yang dia lewati bersamanya, hanya bisa dibilang kenangan. Tidak membuat merasa puas.
“Mm ..., iya, Ra. Terima kasih ya.” Lyfa tersenyum. Senyum yang Lyfa rajut karena kalimatku yang terlihat begitu sederhana bagiku, membuat dia berusaha untuk kembali ceria. Semangat itu. Cerah itu. Senyuman itu. Semua itu cocok untuk dia miliki. Seorang gadis yang tidak terduga, bisa memilikinya sebagai temanku, teman yang berbeda dari yang lain. Aku merasakan, kalau Lyfa adalah teman yang paling setia menemaniku. Membuat diriku merasa tidak terlalu kesepian. Walau aku membenci dirinya yang menyukai laki-laki, tapi itulah Lyfa. Teman yang tidak menilai orang dari luar. Dan ternyata, aku lah yang dijadikannya sebagai sahabatnya. Menganggapku sebagai orang yang penting baginya yang selalu saja menyebutkan namaku setiap hari disaat dia melihatku dan memelukku. Dialah, Titania Lyfatmara.
Aku tersenyum melihat dirinya tersenyum.“Sama-sama, Fa. PJ-nya dong?” aku membuka tanganku menjadi lebar, seperti pengemis imut yang ingin minta uang minimal seratus ribu.
Lyfa langsung tertawa ngakak. “Hahahaha...! Nanti, ya.”
Aku melipat tangan didada. “Awas kalau lupa.” Gaya mataku menyempit.
Lyfa masih tertawa melihat ekspresiku. Setelah tawanya reda, dia mengelus-elus dadanya tiga kali. Menarik napas, lalu menghembuskannya, kali ini hembusannya tenang. Sekarang, gantian dia yang menampilkan ekspresi aneh.
“Hmm, katanya kamu enggak pernah punya pacar, boleh aku bantu nyari buat kamu ya!”
Aduh nih anak mikirin apa ya sampai berkata itu kepadaku. Aku menggelengkan kepala yang berarti menolak. Itu adalah hal bodoh yang pernah aku dengar. “tidak, aku tidak punya waktu memikirkan hal yang tidak penting didiriku. Sekarang lagi fokus pada belajar. Besok ujian terakhir kita, kan? Sebaiknya kamu juga serius.” Kataku mengingat besok akan Ujian Akhir Sekolah yang terakhir.
Lyfa menghela napas dan mengangkat bahu dan kedua alis. “Baiklah. Tapi aku yakin sekali kalau Arika bakal punya pacar pada suatu saat nanti. Hah ..., aku tidak sabar melihat hari itu.”
Telingaku tiba-tiba sakit seperti tersumbat atau apalah, aku gak tahu juga karena mendengar kalimatnya barusan.
“Hih ..., sudah ah! Kamu sebaiknya kembali kekursimu. Sebentar lagi Ujian matematika dimulai, wuhs!wuhs!” Kataku sambil mengusir Lyfa dari tempat dudukku. Lyfa kembali duduk dikursinya lalu melambaikan tangannya kepadaku. Aku menggeleng kepala. Setelah itu, melempar senyuman singkat.
• • •
“Arika! Kamu keterlaluan banget, ya!”
Dia menarik tanganku dengan kuat dan berhenti dibelakang gedung sekolah yang sunyi. Banyak tong-tong sampah dan kardus-kardus yang menumpuk di tempat itu. Dengan kuat dia menyenderkanku didinding. Tentu saja rasanya sakit. Tapi aku tidak merasakan rasa sakit itu. Tidak akan berkata 'aduh' atau apalah yang membuat diriku lemah dihadapannya. Yang paling bosan itu, aku diginiin setiap istirahat. Membuat jam makan siangku terbuang karena berbincang hal yang tidak penting dan tidak menghasilkan apa pun dalam pembicaraan itu. Waktu begitu sangat berharga, terbuang sia-sia hanya karena dia.
Dia Rindiani Evtania yang terkenal dipanggil Rinrin. Nama panggilannya yang begitu aneh ditelingaku. Dia cewek yang paling sombong dan bikin aku greget disekolah ini. Cantik ya cantik, tapi sikapnya yang tidak kusuka. Selalu berbuat yang tidak aku sukai di sekolah.
“Eh, dengar lo, ya. Gue jadi jauh sama pacar gue karena ELO!” Kata Rinrin dengan bahasa gaulnya yang kental.
Spontan, tiba-tiba aku ingin tertawa, tapi aku menahan tawaku. “Apa, pacar kamu menjauh darimu karena aku? Emang apa yang kamu tahu dariku?” Balasku tidak mau kalah.
Rinrin menarik dasiku. “Andi bilang ke gue kalau dia sebenarnya dari dulu lebih menyukai elo dari pada GUE!!” Jawab Rinrin dengan keras.
Tidak bisa ditahan lagi, aku langsung tertawa mendengar jawabannya. Seakan lelucon yang amat luar biasa.
“Aduuuhh, Rinrin. Hahahaha.... Andi? Aku saja gak kenal sama pacar kamu, mukanya saja aku tidak tahu gimana. Kamu mesti selidik dulu baik-baik, baru nanya langsung ke aku, jangan narik-narik tanganku dan dasiku tanpa seizin aku dong.” Kataku setelah tawaku reda. Perutku sampai sakit mengeluarkan tawa ku yang langka, karena aku sulit membuat diriku tertawa. Bisa dibilang, jarang tertawa.
“Elo jangan bohong sama gue, ya!” Rinrin tidak percaya telah apa yang aku katakan barusan kepadanya.
“Yah ..., Rindiana, untuk apa gue bohong? Aku saja tidak banyak punya teman disini. Apalagi kalau cowok. Kamu tidak tahu, aku tidak tertarik yang namanya pacar dan teman, ngerti gak??” Kataku keras didepan mukanya. Muka yang tidak aku ingin lihat didunia ini. Muka yang serasa pengen aku remes, injak, hingga menjadi bubur.
Rinrin melepas dasiku dari tangannya. Dia menatapku dengan tajam. Aku hanya menatapnya dengan biasa. Dia menendang kaleng bekas yang ada didepannya, lalu berjalan pergi meninggalkanku disini. Seperti yang aku lihat, dia kurang puas dengan apa yang aku katakan. Walaupun aku sudah sangat jujur, dia tidak akan pernah percaya padaku. Apapun yang aku katakan.
Andi? Siapa dia? kenal saja enggak ada, apalagi ketemu sama dia saja enggak pernah. Menyukaiku? Ketawa banget deh aku mendengarnya.
“Duuhh, Rinrin, kamu ngakak banget ya! Bisa ketawa sendiri aku dirumah nanti.” Kataku sambil menggeleng kepala dan tertawa. Sampai air mataku agak keluar karena tertawa puas.
Aku kembali berjalan kekantin. Setelah duduk, aku kembali tertawa. Lyfa kayaknya bingung melihatku tertawa. Selesai meminum jusnya, Lyfa mulai bertanya padaku.
“Arika, kamu sama Rinrin tadi sedang membicarakan apa? Dan, kenapa kau tertawa?” Tanya Lyfa tampak bingung.
Setelah tawaku reda, aku pun menjawab. “Kamu gak akan percaya, Fa. Pembicaraannya gak penting banget!”Jawabku dengan rasa geliku yang masih ada.
“ Membicarakan apa?”
“ Pacarnya.” Jawabku singkat.
“ Pacarnya?” Ulang Lyfa. “ pacarnya yang bernama Andi itu, ya?”
Aku mengangguk. “Kenapa kau bisa tahu kalau nama pacarnya adalah Andi?”
Setelah mendengar pertanyaanku itu, Lyfa memukul meja dan membuatku hampir tersedak karena terkejut.
“Astaga, Arika, kamu gak tahu?”
“Ih, tahu apaan?” Tanyaku balik.
Lyfa menepuk keningnya.“Andi itu, adalah cowok yang paling ganteng disekolah ini, tahu! Dia banyak disukai oleh para murid cewek-cewek dan guru-guru disini. Dia pun pintar, tapi masih pinter kamu dari Andi. Dan ... Oh my God! Dia itu ... Aaaa!!! Kayak pangeran di kerajaan!” Jawab Lyfa dengan semangan menjelaskan sedikit tentang Andi.
Aku bosan mendengarkan.“Oke, oke, baiklah.”
“Emang apa hubungannya pembicaraan kalian barusan dengan Andi?”
Aku males banget menjawab pertanyaan dari Lyfa. Tapi, ya, tak lama aku pun menjawab. “Rinrin bilang padaku kalau Andi menjauhinya dan dia bilang lagi kalau kata Andi padanya, Andi menyukaiku dari pada Rinrin. Itu saja,”jawabku dengan lemas, lalu aku langsung tertawa.“lucu banget buatku, deh.”
Lyfa terkejut setelah mendengar jawabanku.“What?! Hello, Arika. Apa yang dibicarakan kamu itu benar??”Tanya Lyfa dengan gaya lebay-nya.
Aku menghela napas. “Iya, Lyfa. Masa aku bohong sih sama kamu?”
Mulut Lyfa membuka lebar. Lalu menggeleng-geleng kepala. Aku keheranan melihatnya bengong. “Kamu masih waras kan, Lyfa?”Tanyaku memastikan.
Lyfa berdiri. “Arika!” Lyfa memegang kedua tanganku.
“Apa sih?”
“Kamu terima gak, kalau Andi memang menyukaimu?”
Aku tersentak mendengarnya. Iiiihh, gila-gila-gila! Pertanyaan yang membuat tubuhku panas. Belum tentu pasti juga kan kalau Andi menyukaiku. Kalo ada memang yang tertarik denganku, langsung tebas aja deh pakai pedang! Biar mampus.
“GAK!” Jawabku dengan emosi tinggi.
Aku langsung beranjak dari tempat duduk dan berjalan pergi dari kantin meninggalkan Lyfa dengan panas kepalaku yang meluap-luap.
“Ri! Arika!” Panggil Lyfa. Aku mengabaikan panggilannya.
Aku berlari sampai menuju kelas. Sangat marah. Ya, aku memang tidak suka membicarakan tentang seperti itu. Tidak ingin mendengarkan tentang itu. Semua itu membuatku ingin muntah.
Aku, ingin menjadi orang lain. Aku tidak suka menjadi Arika. Hari-hari yang kulewati adalah bukan hari yang aku inginkan dalam hidupku. Apakah ini cobaan untukku?
• • •
Hari ini sekolah tiba-tiba dipulangkan. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin ada rapat mendadak atau semacamnya. Ah, itu tidak penting buatku.
Kalau pulang cepat, pasti aku senang. Tapi, kenapa aku jadi lemas dan murung kayak gini, ya? Harusnya, aku sedang gembira.
Sebaiknya aku akan harus tetap fokus pada Ujian besok. Aku tidak ingin ada satu soal pun yang tidak bisa kukerjakan. Aku akan belajar tanpa istirahat hari ini sampai malam. Pastinya ingin mendapatkan nilai yang bagus.
Aku melewati jalan ini lagi. Dengan damainya bersama sepedaku. Angin bertiup dengan sejuknya. Daun-daun pohon, langit biru dan sinar matahari membuat semuanya menjadi tenang, seperti masalah yang melekat dikepala telah hilang, walaupun aku tidak memiliki masalah apa-apa ketenangan itu sangat terasa didiriku. Kedua kakiku berhenti mengayuh sepeda dan turun dari sepedaku. Mencoba merasakan kedamaian yang ada. Aku menghirup udara disini dengan nyamannya. Rambutku berkibar karena angin yang nyaman disiang hari. Ingin sekali mempunyai sayap, lalu terbang kelangit biru yang indah. Tapi, itu hanyalah khayalanku dan tidak mungkin akan terwujud.
Wow, ternyata aku terlalu lama berdiri dijalanan ini, aku harus sampai kerumah, lalu belajar. Tidak lupa, aku akan memasang tanda peringatan didepan pintu kamarku supaya tidak ada yang masuk kekamarku.
Aku langsung naik dan mengayuh sepedaku. Tidak ada yang kupikirkan lagi selain belajar. Apalagi yang harus aku pikirkan? Menurutku tidak ada.
Sampailah aku dirumah. Aku memasukkan sepedaku kegarasi dan menguncinya. Lalu aku masuk kedalam rumah lewat belakang pintu rumah. Terlihat, Mama tidak tahu akan kedatanganku sekarang. Aku mengendap-endap masuk kedalam kamar. Hari ini aku males makan siang. Lagipula, aku tidak lapar.
Aku melempar tas kelantai, mencuci muka, menyisir rambut, lalu mengambil buku tebal IPA-ku dan langsung duduk dikursi belajarku bersama meja dan lampu belajarku. Tapi lampunya tidak dipakai karena kamarku sudah diterangkan oleh cahaya luar. Aku pun males ganti baju.
Pelajaran yang paling kubenci adalah IPA. Tapi entah kenapa, aku tidak kesulitan dalam belajar dan mengerjakan soal IPA. IPA, yaitu singkatan dari Ilmu Pengetahuan Aneh! Tapi menyenangkan.
Besok adalah Ujian Akhir yang terakhir di sekolahku. Aku tidak sabar akan besok. Ingin rasanya cepat-cepat masuk SMA, melupakan semua yang kulewati di SMP.
Tiba-tiba saja aku teringat Rinrin.cs saat bicara denganku dibelakang sekolah. Aku ingin tertawa lagi, tapi aku tidak mau Mama mendengar suaraku dari kamar. Jadi aku menahannya.
Lama aku belajar, aku mendengar Mama sedang berbicara dengan seseorang diruang tamu. Itu sih menurut telingaku. Mama bicara sama siapa ya?
Aku beranjak dari kursi dan ingin berjalan kearah pintu untuk menguping. Saat berjalan dua langkah, aku terjatuh karena menginjak sesuatu.
“Adeuwwww ...., ternyata sisir sialan menghalangi jalanku!” Kataku sambil menahan sakit dikaki. Untung kakiku baik-baik saja.
“Arika?”Panggil Mama. Waduh, mampus deh aku ketahuan dikamar. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku langsung bangkit dan Mama masuk ke kamarku. Mama terkejut melihatku.
“Arika, kamu dari jam sebelas sudah disini? Kamu masuk lewat mana?” Tanya Mama dengan penuh tanda tanya. Tapi, kenapa Mama menyebutkan jam pulangku hari ini?
“Peace, Ma! Arika masuk lewat belakang pintu rumah, soalnya kuncinya sama Arika. Maaf Ma, lama tidak bilang tadi.”Jawabku dengan rasa menyesal. Mama tersenyum mendengar jawabanku.
“Syukurlah Arika bisa menjelaskannya pada Mama dengan benar. Nah, yang penting, jangan diulangi lagi.”
“Oke, Ma!” Ucapku dengan senang.
“Kamu keluar dulu. Ada sepupumu datang.”
Aku terkejut mendengar perkataan Mama.“Sepupu? Emang Arika punya sepupu?”Tanyaku dengan perasaan bingung.
“Ya-iyalah Arika punya. Yuk, langsung saja hampiri sepupumu di ruang tamu, Mama mau masak makanan buat kamu, ya.”
Aku menurut. Kakiku melangkah keluar kamar lalu mengambil langkah lagi keruang tamu. Sampainya di ruang tamu, mataku melihat sosok laki-laki seumuranku sedang duduk di sofa ruang tamu dengan tenang. Dia melihat kearahku dan tersenyum kepadaku. “Hai, Arika. Namaku Andi. Maaf lama tidak saling bertemu,” sapanya ramah. “Aku juga satu sekolah denganmu.”
Tentu saja aku terkejut dan juga merinding setelah mendengar katanya barusan.“ K-k-kamu s-siapa? Se-sepupuku?? Sepupuku yang namanya Andi pacarnya si-Cewek yang Blagu disekolah itu???”Tanyaku dengan histerisnya.
Dia hanya menampakkan senyumnya. Aku sama sekali tidak percaya dengan ini. Ya ampun, oh, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.
Bersambung ...
Hobby-ku sudah kelihatan, menulis cerita. Selain itu, aku suka membaca novel-novel terbaru di Gramedia kesayanganku. Seperti buku seri KKPK, Pink Berry Club, atau Fantasteen. Aku juga suka menonton serial Anime, hehehe.
Oh iya! Yang ingin mengenalku lebih jauh atau memberikan kritik dan saran, silahkan add facebook: Mell Ayuzawa Misaki.
Tunggu kisah selanjutnya !!! ^_^
...
Adoh! Pengen pingsan gue mendengarnya. Mendengar cerita tentang pacarnya? Waduh, bakal ancur telingaku kalau begitu caranya.
Aku langsung mengambil tasku dan segera pergi dari kelas. Aku kabur tidak menunggunya. “Sorry, Lyfa!”
Mukanya terlihat cemberut mendengar itu dan melihatku berlari keluar dari kelas. Aku tertawa ngakak setelah jauh dari kelas.
Sebenarnya aku memang tidak suka mendengar cerita dongeng kayak begituan. Membuang waktuku saja. Setiap hari, Lyfa menceritakan tentang pacarnya padaku. Itu membuatku ingin mual mendengarnya. Makananku pun sering tidak habis karena mendengar ceritanya saja.
Dari hampir semua teman sekelasku yang cewek, banyak yang keheranan, kenapa aku tidak pernah punya pacar sampai sekarang. Setiap aku masuk kekelas, hampir semua murid melihat kearahku sambil berbisik-bisik. Aku hanya cuek saja. Tidak penting juga kalau memarahi mereka karena hanya hal itu.
Tiba-tiba saja, aku mendapat cobaan yang membuatku tambah bosan. Hari demi hari, dia membuatku sangaaaaaaaatttt bosan. Tapi entah kenapa, itu juga membuat detik hariku menyenangkan.
Beginilah awal dari hidupku yang menurutku kurang tenang dan menyenangkan.
•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•
Part:1. (Dia Adalah Sepupuku)
Hai, namaku Fanellia Arrikia Kabrana. Panggilan akrabku Arika. Aku duduk dikelas 9 SMPN Lintang Grama, dan sebentar lagi aku akan melanjutkan sekolahku di SMA. Kata Mama, aku orangnya gampang emosi, tidak menyerah, ceria, kadang suka melamun, dan juga gampang bosan. Benar, aku memang mudah bosan. Bosan menjalani hari sekolahku. Melewati hari-hari yang menurutku sama saja, dari senin-minggu dan seterusnya. Semuanya sama saja.
Dengan seperti biasa, aku melewati jalanan ini menuju sekolah dengan sepedaku. Juga melewati pohon-pohon mangga yang tidak ada buahnya sama sekali, rumah-rumah, dan lainnya.
“Arika!” Panggil Lyfa didepan rumahnya. Aku mengayuh sepeda kerumah Lyfa. Rambutnya dikucir satu yang bentuknya mirip buntut kuda melambai-lambai karena kaki Lyfa melompat-lompat melihatku muncul.
“Ayo, duduk dibelakangku.” Kataku agak cepat.
Lyfa senang. Dia segera duduk dibelakangku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan normal.
Titania Lyfatmara, yaitu gadis berambut kucir satu yang biasa dipanggil Lyfa oleh teman-temannya. Lyfa menganggapku sebagai sahabatnya ketika pertama aku kenal dengan Lyfa saat kelas 7 karena aku lucu. Lucu???
Aku tidak terlalu menganggap kalau Lyfa adalah sahabatku. Entah kenapa, diriku ini benar-benar aneh.
Dari semua teman sekelasku, hanya Lyfa yang ingin berteman denganku. Kalau yang lain? Mereka hanya menyapaku dan pergi. Sebagiannya lagi, ada yang tidak suka dengan kedatanganku disekolah. Aku tidak tahu kenapa seperti itu. Ya, menurutku itu hal yang tidak penting untuk dipikirkan. Aku juga tidak suka bergaul dengan mereka.
Kami berhenti di parkir sepeda. Lyfa turun dari dudukannya. Wajahnya begitu cerah.
“Kamu duluan saja. Aku mau cari tempat sepedaku dulu.” Kataku kepada Lyfa tanpa melihatnya.
“Hmm, oke deh. Aku tunggu dikelas ya, dahh ...” Kata Lyfa dan berjalan pergi kedalam sekolah.
Aku mencari tempat sepeda yang kosong. Kelihatan sudah penuh, tapi pastinya ada sisa tempat lagi.
Tepat yang aku pikirkan, aku menemukan satu tempat yang kosong. “Aha, itu dia.”
Langsung saja aku menyeret sepeda unguku itu ketempat kosong yang telah aku cari sebelum ada yang mengambilnya. Saatnya aku masuk kekelas. Waktunya tinggal 10 menit lagi, sebaiknya aku bergegas.
Aku mengambil langkah berjalan kesekolah yang membosankan. Sekolah yang bertaraf Internasional, namun tidak terlihat dimataku. Aku ingin sekali cepat-cepat menjauh dari sekolah ini. Melupakan semua hal yang terjadi disini. Ingin mendapatkan hari yang lebih indah dari ini dan mendapatkan banyak teman. Itu yang aku inginkan dalam dunia sekolahku.
Dari nilai positif yang kudapatkan disekolah ini, dalam ujian aku selalu mendapatkan nilai yang tinggi dan dikagumi oleh adik kelas 7 dan 8. Entah kenapa aku dikagumi oleh adik-adik kelas disini, aku tidak tahu.
“Kak Arika!!!”
Aku menoleh. Dua cewek kembar sedang berlari kearahku. Itu Ani dan Ina, murid kelas 7 yang satu-satunya mempunyai murid kembar disekolah ini. Rambut panjang mereka yang sama, yang berbeda hanya gaya Ani yang memakai kacamata. Dengan itu, aku bisa membedakan mereka.
“Hai, Kak Arika! Kakak cantik banget hari ini!” Seru Ina sambil memelukku.
“Kak Arika rambutnya tambah panjang, ya. Kakak jadi lebih cantik!” Kata Ani juga dengan senyum manisnya. Dengan manis, dia membenarkan kacamatanya yang mulai merosot.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar mereka. “Terima kasih Ani, Ina. Kalau begitu, Kakak mau masuk kedalam kelas dulu, dadah ...”
“Dah, Kak!” Balas mereka sambil melambaikan tangan kepadaku.
Kelas 9-B, itu adalah kelasku. Aku masuk kedalam ruangan yang berisi banyak meja dan kursi itu. Seperti biasanya, sebagian teman-teman sekelasku melihat kearahku. Aku hanya diam sambil berjalan ketempat duduk.
“Hai, Arika,” sapa Lyfa sambil berjalan dan duduk disampingku. Wajahnya masih cerah seperti matahari yang tersenyum.“aku mau bicara kalau ...”
“Membicarakan tentang pacarmu? Silahkan, aku siap untuk mendengarkan,” kataku memotong perkataan Lyfa yang belum selesai, seakan aku tahu apa yang akan dikatakannya. “tunggu apa lagi.”
Lyfa menggaruk kepalanya. Wajahnya mendadak murung.“Gimana menjelaskannya, ya? Sebenarnya mulai kemarin aku udah putus dengannya.” Jari telunjuk kanannya memainkan ujung rambutnya yang dikucir. Dia menghembuskan napasnya dengan berat seperti sedang menerima kenyataan yang tidak ingin dilihat. Aku hanya terkejut sebentar saja.
“Lho, kenapa?” Tanyaku pura-pura ingin tahu. Didalam hati, aku berkata, “ baguslah kalau begitu.” Dengan begitu, penyakit Migran-ku akan sembuh total dan tidak akan kembali lagi. Selama cerita itu tidak ada.
“Ternyata dia punya pacar yang lain, jadi kami putus.” Jawab Lyfa dengan lemas. Matanya dipejamkannya dengan lama. Kejadian yang tidak ingin itu terjadi padanya, dia ungkapkan kepada sahabatnya.
“Waduh, kamu sabar ya, pasti ada cowok yang lebih baik lagi diluar sana. Tunggu saja, deh.” Kataku sok menghibur. Tapi, aku bisa merasakan hati Lyfa saat ini. Pasti dia mencoba menyembunyikan kesedihannya itu dengan menceritakannya kepadaku. Mencoba bertahan kuat meskipun terasa sangat sulit. Membuat bangunan itu kembali kokoh seperti semula, ternyata tidak semudah yang Lyfa kira. Pria yang dia cintai, ternyata berakhir begitu menyakitkan dan sia-sia. Semua yang dia lewati bersamanya, hanya bisa dibilang kenangan. Tidak membuat merasa puas.
“Mm ..., iya, Ra. Terima kasih ya.” Lyfa tersenyum. Senyum yang Lyfa rajut karena kalimatku yang terlihat begitu sederhana bagiku, membuat dia berusaha untuk kembali ceria. Semangat itu. Cerah itu. Senyuman itu. Semua itu cocok untuk dia miliki. Seorang gadis yang tidak terduga, bisa memilikinya sebagai temanku, teman yang berbeda dari yang lain. Aku merasakan, kalau Lyfa adalah teman yang paling setia menemaniku. Membuat diriku merasa tidak terlalu kesepian. Walau aku membenci dirinya yang menyukai laki-laki, tapi itulah Lyfa. Teman yang tidak menilai orang dari luar. Dan ternyata, aku lah yang dijadikannya sebagai sahabatnya. Menganggapku sebagai orang yang penting baginya yang selalu saja menyebutkan namaku setiap hari disaat dia melihatku dan memelukku. Dialah, Titania Lyfatmara.
Aku tersenyum melihat dirinya tersenyum.“Sama-sama, Fa. PJ-nya dong?” aku membuka tanganku menjadi lebar, seperti pengemis imut yang ingin minta uang minimal seratus ribu.
Lyfa langsung tertawa ngakak. “Hahahaha...! Nanti, ya.”
Aku melipat tangan didada. “Awas kalau lupa.” Gaya mataku menyempit.
Lyfa masih tertawa melihat ekspresiku. Setelah tawanya reda, dia mengelus-elus dadanya tiga kali. Menarik napas, lalu menghembuskannya, kali ini hembusannya tenang. Sekarang, gantian dia yang menampilkan ekspresi aneh.
“Hmm, katanya kamu enggak pernah punya pacar, boleh aku bantu nyari buat kamu ya!”
Aduh nih anak mikirin apa ya sampai berkata itu kepadaku. Aku menggelengkan kepala yang berarti menolak. Itu adalah hal bodoh yang pernah aku dengar. “tidak, aku tidak punya waktu memikirkan hal yang tidak penting didiriku. Sekarang lagi fokus pada belajar. Besok ujian terakhir kita, kan? Sebaiknya kamu juga serius.” Kataku mengingat besok akan Ujian Akhir Sekolah yang terakhir.
Lyfa menghela napas dan mengangkat bahu dan kedua alis. “Baiklah. Tapi aku yakin sekali kalau Arika bakal punya pacar pada suatu saat nanti. Hah ..., aku tidak sabar melihat hari itu.”
Telingaku tiba-tiba sakit seperti tersumbat atau apalah, aku gak tahu juga karena mendengar kalimatnya barusan.
“Hih ..., sudah ah! Kamu sebaiknya kembali kekursimu. Sebentar lagi Ujian matematika dimulai, wuhs!wuhs!” Kataku sambil mengusir Lyfa dari tempat dudukku. Lyfa kembali duduk dikursinya lalu melambaikan tangannya kepadaku. Aku menggeleng kepala. Setelah itu, melempar senyuman singkat.
• • •
“Arika! Kamu keterlaluan banget, ya!”
Dia menarik tanganku dengan kuat dan berhenti dibelakang gedung sekolah yang sunyi. Banyak tong-tong sampah dan kardus-kardus yang menumpuk di tempat itu. Dengan kuat dia menyenderkanku didinding. Tentu saja rasanya sakit. Tapi aku tidak merasakan rasa sakit itu. Tidak akan berkata 'aduh' atau apalah yang membuat diriku lemah dihadapannya. Yang paling bosan itu, aku diginiin setiap istirahat. Membuat jam makan siangku terbuang karena berbincang hal yang tidak penting dan tidak menghasilkan apa pun dalam pembicaraan itu. Waktu begitu sangat berharga, terbuang sia-sia hanya karena dia.
Dia Rindiani Evtania yang terkenal dipanggil Rinrin. Nama panggilannya yang begitu aneh ditelingaku. Dia cewek yang paling sombong dan bikin aku greget disekolah ini. Cantik ya cantik, tapi sikapnya yang tidak kusuka. Selalu berbuat yang tidak aku sukai di sekolah.
“Eh, dengar lo, ya. Gue jadi jauh sama pacar gue karena ELO!” Kata Rinrin dengan bahasa gaulnya yang kental.
Spontan, tiba-tiba aku ingin tertawa, tapi aku menahan tawaku. “Apa, pacar kamu menjauh darimu karena aku? Emang apa yang kamu tahu dariku?” Balasku tidak mau kalah.
Rinrin menarik dasiku. “Andi bilang ke gue kalau dia sebenarnya dari dulu lebih menyukai elo dari pada GUE!!” Jawab Rinrin dengan keras.
Tidak bisa ditahan lagi, aku langsung tertawa mendengar jawabannya. Seakan lelucon yang amat luar biasa.
“Aduuuhh, Rinrin. Hahahaha.... Andi? Aku saja gak kenal sama pacar kamu, mukanya saja aku tidak tahu gimana. Kamu mesti selidik dulu baik-baik, baru nanya langsung ke aku, jangan narik-narik tanganku dan dasiku tanpa seizin aku dong.” Kataku setelah tawaku reda. Perutku sampai sakit mengeluarkan tawa ku yang langka, karena aku sulit membuat diriku tertawa. Bisa dibilang, jarang tertawa.
“Elo jangan bohong sama gue, ya!” Rinrin tidak percaya telah apa yang aku katakan barusan kepadanya.
“Yah ..., Rindiana, untuk apa gue bohong? Aku saja tidak banyak punya teman disini. Apalagi kalau cowok. Kamu tidak tahu, aku tidak tertarik yang namanya pacar dan teman, ngerti gak??” Kataku keras didepan mukanya. Muka yang tidak aku ingin lihat didunia ini. Muka yang serasa pengen aku remes, injak, hingga menjadi bubur.
Rinrin melepas dasiku dari tangannya. Dia menatapku dengan tajam. Aku hanya menatapnya dengan biasa. Dia menendang kaleng bekas yang ada didepannya, lalu berjalan pergi meninggalkanku disini. Seperti yang aku lihat, dia kurang puas dengan apa yang aku katakan. Walaupun aku sudah sangat jujur, dia tidak akan pernah percaya padaku. Apapun yang aku katakan.
Andi? Siapa dia? kenal saja enggak ada, apalagi ketemu sama dia saja enggak pernah. Menyukaiku? Ketawa banget deh aku mendengarnya.
“Duuhh, Rinrin, kamu ngakak banget ya! Bisa ketawa sendiri aku dirumah nanti.” Kataku sambil menggeleng kepala dan tertawa. Sampai air mataku agak keluar karena tertawa puas.
Aku kembali berjalan kekantin. Setelah duduk, aku kembali tertawa. Lyfa kayaknya bingung melihatku tertawa. Selesai meminum jusnya, Lyfa mulai bertanya padaku.
“Arika, kamu sama Rinrin tadi sedang membicarakan apa? Dan, kenapa kau tertawa?” Tanya Lyfa tampak bingung.
Setelah tawaku reda, aku pun menjawab. “Kamu gak akan percaya, Fa. Pembicaraannya gak penting banget!”Jawabku dengan rasa geliku yang masih ada.
“ Membicarakan apa?”
“ Pacarnya.” Jawabku singkat.
“ Pacarnya?” Ulang Lyfa. “ pacarnya yang bernama Andi itu, ya?”
Aku mengangguk. “Kenapa kau bisa tahu kalau nama pacarnya adalah Andi?”
Setelah mendengar pertanyaanku itu, Lyfa memukul meja dan membuatku hampir tersedak karena terkejut.
“Astaga, Arika, kamu gak tahu?”
“Ih, tahu apaan?” Tanyaku balik.
Lyfa menepuk keningnya.“Andi itu, adalah cowok yang paling ganteng disekolah ini, tahu! Dia banyak disukai oleh para murid cewek-cewek dan guru-guru disini. Dia pun pintar, tapi masih pinter kamu dari Andi. Dan ... Oh my God! Dia itu ... Aaaa!!! Kayak pangeran di kerajaan!” Jawab Lyfa dengan semangan menjelaskan sedikit tentang Andi.
Aku bosan mendengarkan.“Oke, oke, baiklah.”
“Emang apa hubungannya pembicaraan kalian barusan dengan Andi?”
Aku males banget menjawab pertanyaan dari Lyfa. Tapi, ya, tak lama aku pun menjawab. “Rinrin bilang padaku kalau Andi menjauhinya dan dia bilang lagi kalau kata Andi padanya, Andi menyukaiku dari pada Rinrin. Itu saja,”jawabku dengan lemas, lalu aku langsung tertawa.“lucu banget buatku, deh.”
Lyfa terkejut setelah mendengar jawabanku.“What?! Hello, Arika. Apa yang dibicarakan kamu itu benar??”Tanya Lyfa dengan gaya lebay-nya.
Aku menghela napas. “Iya, Lyfa. Masa aku bohong sih sama kamu?”
Mulut Lyfa membuka lebar. Lalu menggeleng-geleng kepala. Aku keheranan melihatnya bengong. “Kamu masih waras kan, Lyfa?”Tanyaku memastikan.
Lyfa berdiri. “Arika!” Lyfa memegang kedua tanganku.
“Apa sih?”
“Kamu terima gak, kalau Andi memang menyukaimu?”
Aku tersentak mendengarnya. Iiiihh, gila-gila-gila! Pertanyaan yang membuat tubuhku panas. Belum tentu pasti juga kan kalau Andi menyukaiku. Kalo ada memang yang tertarik denganku, langsung tebas aja deh pakai pedang! Biar mampus.
“GAK!” Jawabku dengan emosi tinggi.
Aku langsung beranjak dari tempat duduk dan berjalan pergi dari kantin meninggalkan Lyfa dengan panas kepalaku yang meluap-luap.
“Ri! Arika!” Panggil Lyfa. Aku mengabaikan panggilannya.
Aku berlari sampai menuju kelas. Sangat marah. Ya, aku memang tidak suka membicarakan tentang seperti itu. Tidak ingin mendengarkan tentang itu. Semua itu membuatku ingin muntah.
Aku, ingin menjadi orang lain. Aku tidak suka menjadi Arika. Hari-hari yang kulewati adalah bukan hari yang aku inginkan dalam hidupku. Apakah ini cobaan untukku?
• • •
Hari ini sekolah tiba-tiba dipulangkan. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin ada rapat mendadak atau semacamnya. Ah, itu tidak penting buatku.
Kalau pulang cepat, pasti aku senang. Tapi, kenapa aku jadi lemas dan murung kayak gini, ya? Harusnya, aku sedang gembira.
Sebaiknya aku akan harus tetap fokus pada Ujian besok. Aku tidak ingin ada satu soal pun yang tidak bisa kukerjakan. Aku akan belajar tanpa istirahat hari ini sampai malam. Pastinya ingin mendapatkan nilai yang bagus.
Aku melewati jalan ini lagi. Dengan damainya bersama sepedaku. Angin bertiup dengan sejuknya. Daun-daun pohon, langit biru dan sinar matahari membuat semuanya menjadi tenang, seperti masalah yang melekat dikepala telah hilang, walaupun aku tidak memiliki masalah apa-apa ketenangan itu sangat terasa didiriku. Kedua kakiku berhenti mengayuh sepeda dan turun dari sepedaku. Mencoba merasakan kedamaian yang ada. Aku menghirup udara disini dengan nyamannya. Rambutku berkibar karena angin yang nyaman disiang hari. Ingin sekali mempunyai sayap, lalu terbang kelangit biru yang indah. Tapi, itu hanyalah khayalanku dan tidak mungkin akan terwujud.
Wow, ternyata aku terlalu lama berdiri dijalanan ini, aku harus sampai kerumah, lalu belajar. Tidak lupa, aku akan memasang tanda peringatan didepan pintu kamarku supaya tidak ada yang masuk kekamarku.
Aku langsung naik dan mengayuh sepedaku. Tidak ada yang kupikirkan lagi selain belajar. Apalagi yang harus aku pikirkan? Menurutku tidak ada.
Sampailah aku dirumah. Aku memasukkan sepedaku kegarasi dan menguncinya. Lalu aku masuk kedalam rumah lewat belakang pintu rumah. Terlihat, Mama tidak tahu akan kedatanganku sekarang. Aku mengendap-endap masuk kedalam kamar. Hari ini aku males makan siang. Lagipula, aku tidak lapar.
Aku melempar tas kelantai, mencuci muka, menyisir rambut, lalu mengambil buku tebal IPA-ku dan langsung duduk dikursi belajarku bersama meja dan lampu belajarku. Tapi lampunya tidak dipakai karena kamarku sudah diterangkan oleh cahaya luar. Aku pun males ganti baju.
Pelajaran yang paling kubenci adalah IPA. Tapi entah kenapa, aku tidak kesulitan dalam belajar dan mengerjakan soal IPA. IPA, yaitu singkatan dari Ilmu Pengetahuan Aneh! Tapi menyenangkan.
Besok adalah Ujian Akhir yang terakhir di sekolahku. Aku tidak sabar akan besok. Ingin rasanya cepat-cepat masuk SMA, melupakan semua yang kulewati di SMP.
Tiba-tiba saja aku teringat Rinrin.cs saat bicara denganku dibelakang sekolah. Aku ingin tertawa lagi, tapi aku tidak mau Mama mendengar suaraku dari kamar. Jadi aku menahannya.
Lama aku belajar, aku mendengar Mama sedang berbicara dengan seseorang diruang tamu. Itu sih menurut telingaku. Mama bicara sama siapa ya?
Aku beranjak dari kursi dan ingin berjalan kearah pintu untuk menguping. Saat berjalan dua langkah, aku terjatuh karena menginjak sesuatu.
“Adeuwwww ...., ternyata sisir sialan menghalangi jalanku!” Kataku sambil menahan sakit dikaki. Untung kakiku baik-baik saja.
“Arika?”Panggil Mama. Waduh, mampus deh aku ketahuan dikamar. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku langsung bangkit dan Mama masuk ke kamarku. Mama terkejut melihatku.
“Arika, kamu dari jam sebelas sudah disini? Kamu masuk lewat mana?” Tanya Mama dengan penuh tanda tanya. Tapi, kenapa Mama menyebutkan jam pulangku hari ini?
“Peace, Ma! Arika masuk lewat belakang pintu rumah, soalnya kuncinya sama Arika. Maaf Ma, lama tidak bilang tadi.”Jawabku dengan rasa menyesal. Mama tersenyum mendengar jawabanku.
“Syukurlah Arika bisa menjelaskannya pada Mama dengan benar. Nah, yang penting, jangan diulangi lagi.”
“Oke, Ma!” Ucapku dengan senang.
“Kamu keluar dulu. Ada sepupumu datang.”
Aku terkejut mendengar perkataan Mama.“Sepupu? Emang Arika punya sepupu?”Tanyaku dengan perasaan bingung.
“Ya-iyalah Arika punya. Yuk, langsung saja hampiri sepupumu di ruang tamu, Mama mau masak makanan buat kamu, ya.”
Aku menurut. Kakiku melangkah keluar kamar lalu mengambil langkah lagi keruang tamu. Sampainya di ruang tamu, mataku melihat sosok laki-laki seumuranku sedang duduk di sofa ruang tamu dengan tenang. Dia melihat kearahku dan tersenyum kepadaku. “Hai, Arika. Namaku Andi. Maaf lama tidak saling bertemu,” sapanya ramah. “Aku juga satu sekolah denganmu.”
Tentu saja aku terkejut dan juga merinding setelah mendengar katanya barusan.“ K-k-kamu s-siapa? Se-sepupuku?? Sepupuku yang namanya Andi pacarnya si-Cewek yang Blagu disekolah itu???”Tanyaku dengan histerisnya.
Dia hanya menampakkan senyumnya. Aku sama sekali tidak percaya dengan ini. Ya ampun, oh, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.
Bersambung ...
Profil dan Lainnya
Hai! Perkenalkan, namaku Melinda Adelia Jenita Werner. Aku biasa dipanggil Melinda kalau disekolah, kalau dirumah dipanggil Linda. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku lahir pada 8 januari 2001, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Aku bersekolah di SMP Negeri 2 Banjarmasin, menjadi siswi kelas 8 disana.Hobby-ku sudah kelihatan, menulis cerita. Selain itu, aku suka membaca novel-novel terbaru di Gramedia kesayanganku. Seperti buku seri KKPK, Pink Berry Club, atau Fantasteen. Aku juga suka menonton serial Anime, hehehe.
Oh iya! Yang ingin mengenalku lebih jauh atau memberikan kritik dan saran, silahkan add facebook: Mell Ayuzawa Misaki.
Tunggu kisah selanjutnya !!! ^_^
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)