Double Lost Memories
Karya R
Aurora menghela napas panjang lalu mengamati Carissa. “Carissa… Apa kabar?”
Carissa menatap Aurora bingung lekat-lekat. “Siapa… ya?”
“Dia ngga akan ingat lo,” kata Aldo tajam. Carissa mendelik pada Aldo lalu tersenyum sopan pada Aurora.
“Maaf ya. Tapi aku… Mm, amnesia,”
“Dia ngga akan ingat lo,” kata Aldo tajam. Carissa mendelik pada Aldo lalu tersenyum sopan pada Aurora.
“Maaf ya. Tapi aku… Mm, amnesia,”
Aurora tersentak. Jadi itu jawabannya. Pantas saja Carissa tidak mengusirnya tadi. Aurora menoleh pada Aldo.
“Jangan bilang kamu memanf—“
Aldo bangkit berdiri dan membekap mulut Aurora lebih kilat daripada
kecepatan ucapan Aurora. Dia tersenyum
singkat pada Carissa lalu menggiring Aurora keluar.
Aldo menatap tajam Aurora dengan mengintimidasi. “Jangan
pernah lo hancurkan usaha gue, mengerti?”
Aurora memutar otak. “Elo ngga niat jahat sama Carissa, kan?”
“Bukannya itu elo?” Aldo tersenyum sinis dan melangkah ke
arah pintu. Tepat ketika dia memegang handel pintu, suara Aurora menyela.
“Aku ngga akan bilang ke dia asal kamu mau dengerin aku.”
Tanpa berbalik, Aldo tertawa sinis. “Lo ngancem?”
“Ini demi kamu dan Carissa juga,” tegas Aurora.
***
Dua orang itu duduk bersebrangan dalam diam. Aldo dan
Aurora. Mereka terduduk dalam sebuah meja kafe.
“Jadi lo mau ngomong apa?”
“Gue…” Sesaat Aurora kehilangan kata. “Apa lo tau… Waktu itu
gue juga dijebak?”
“Elo yang sms gue dengan nomor Rissa dan bilang udah nunggu
gue di resto.” ucap Aldo dengan nada datar sambil menyilangkan lengan di depan
dada.
“Yang gue tau, elo yang sms gue, dengan nomor lo, dan bilang
udah nunggu gue di resto Adiya.”
“Jangan memutarbalikkan fakta,” kata Aldo datar.
“Tapi buktinya masih ada,” Aurora menyodorkan ponselnya.
Aldo melirik sebentar.
ALDO -08532887xxx-
W tunggu di resto adiya
“Ngga mungkin,” desis Aldo tak percaya. Ya benar, itu pernah
menjadi nomornya. Tapi tidak mungkin ia mengirim itu! Ya Tuhan.
“Itu mungkin aja,” kata Aurora tenang. “Semua cuma permainan
Calista.”
Raut terkejut muncul di wajah Aldo. “Bohong! Calista itu…
Adiknya Carissa, kan?”
“Dia suka sama lo, Aldo, tapi lo malah deket sama kakaknya.
Jadi dia cemburu dan merencanakan semuanya. Dimulai dari Viko yang mainin
Rissa, Calista yang ngatur semua itu.”
“Cih, lo kira gue bakal percaya cerita lo?”
“Rissa ngga tau kalo Viko pacar gue,” tutur Aurora. “Jadi
dia menganggap gue yang bikin hubungannya sama Viko ancur.”
“Lalu kenapa Viko mau ngelakuin itu? Mainin Carissa?”
“Calista ngancam bakal mecat ayahnya dan… Membunuh gue.”
“Jadi dia juga yang ngatur pertemuan kita waktu itu?”
tanyanya sangsi.
“Siapa lagi?” Aurora mengangkat bahu. “Dia serumah sama
Rissa, jadi dengan mudah dia bisa minjem hape kakaknya buat sms lo. Apalagi
Rissa kan sayang banget sama adeknya,”
“Dia waktu itu minjem hape gue,” gumam Aldo mengingat-ingat.
“Tapi apa tujuannya ngelakuin semua itu?”
“Calista mau misahin elo dan Rissa, apa lagi? Dengan
mengatur pertemuan kita, Rissa otomatis akan benci sama lo karena lo ketemuan
sama cewek yang dia benci, padahal lo tau Rissa benci banget sama cewek itu,
ehm, dalam hal ini, gue.”
“Dari mana Rissa tau gue ketemuan sama lo waktu itu?”
“Calista memfoto kita,” gumam Aurora muram, “dan mengirimnya
ke Rissa.”
“Dari mana lo tau semua ini?”
“Gue udah nyelidikin ini dari dua tahun lalu. Dan pada
akhirnya, Viko mengakui semuanya, dia juga udah ngga mau diancam Calista lagi.
Yah, karena gue paksa sih, gue yakin dia tahu sesuatu. Dan bener, kan?”
“Lo ngga bohong, kan?”
“Untuk apa?” Aurora menatap Aldo tersinggung. “Calista udah
bikin persahabatan gue dan Rissa berantakan. Dia juga yang bikin gue agak
depresi karena merasa bersalah sama Rissa. Dan gue benci banget sama dia.” Mata
Aurora menampilkan kilat kemarahan.
“Lo sayang sama dia?”
Aurora menoleh keheranan. “Siapa?”
“Rissa.”
“Ya jelas lah!” Aurora kembali tersinggung. “Lo pikir gue
apaan? Ngga punya hati nurani? Rissa yang selalu bantuin gue kalo gue lagi
susah banget. Dia sahabat terbaik gue,” Pandangan Aurora menerawang, dan Aldo
bisa melihat bahwa ucapan Aurora itu tulus.
“Baiklah,” putus Aldo akhirnya. “Gue percaya sama lo.”
Suasana hening sejenak. Aurora mengetuk-ngetukkan jari ke
meja.
“Gue balik ke kamar Rissa ya,” Aldo bangkit berdiri dan
bersiap melangkah.
“Aldo,” panggil Aurora menahan.
“Ya?” Aldo menoleh sedikit.
“Lo sayang sama Carissa?”
“Tentu aja. Dia sahabat gue.”
“Maksud gue,” kata Aurora tak sabar, “Lo suka sama Carissa?”
“Apa?” Mata Aldo melotot tak percaya dan dia berbalik. “Apa
maksud lo?”
“Lo cinta sama dia,” gumam Aurora.
“Ngga! Apaan sih?” Aldo menepis anggapan Aurora. Wajahnya
mendadak merah.
“Lo tau sendiri, Do,” seringai Aurora. “Itu pernyataan,
bukan pertanyaan. Lo memang mencintai Carissa. Semua bisa ngeliatnya.”
“Terserah,” Aldo melangkah pergi terburu-buru dengan rasa
malu seolah tertangkap basah.
Tunggu, tertangkap basah? Masa sih, Aldo mengakui bahwa…
Dia memang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri?
***
Carissa terduduk bersandar di dinding ranjang rumah sakit sambil menatap lurus ke layar ponselnya.
Itu Aldo sama cewek yang tadi, bisik hati Carissa.
Rasanya ada sesuatu yang sesak dan ingin keluar dalam dada Carissa saat melihat foto itu. Apa mereka kencan? Tapi… Apa urusan gue? Kenapa rasanya aneh?
Dan yang paling penting, siapa dan apa tujuan orang yang ngirim foto ini?
Tulisan di display ponselnya adalah Calista, tapi Carissa tidak mengenal siapa itu Calista.
Calista? Tunggu…
“Calista! Lista!”
“Kenapa kak?”
“Lista! Tahu ngga?”
“Apa?”
“Viko tadi nembak gue…”
Mendadak kilasan peristiwa muncul lagi dan kepala Carissa sangat sakit. Sial. Apa sih ini? Siapa pula Viko? Kenapa juga wajahnya terlihat senang saat itu?
Entahlah.
Mendadak Aldo masuk—tepat ketika Carissa sedang memegangi kepalanya karena kilasan peristiwa itu muncul lagi.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)