Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Welcome to KCRdA weblog | take parcitipate with us | read stories | comment | send stories

Senin, 24 Februari 2014

Reuni Senja - Cerpen Remaja

Reuni Senja
Karya R
“Kala kita bertemu lagi…”

Aku mengamati dinding dari lorong yang kulewati. Koridor ini terasa sangat sepi dan langkah kakiku terdengar memanjang. Mataku mengawasi lukisan-lukisan yang terpajang sepanjang lorong. Begitu banyak lukisan, dan aku tahu, lukisan-lukisan itu berasal dari berbagai angkatan berbeda.
Langkahku tiba-tiba terhenti, kesepian lorong ini semakin terasa. Mataku terpaku menatap satu lukisan yang sepertinya sudah lama. Sangat kukenal goresan-goresan dalam lukisan ini. Familier, tentunya, karena…
Lukisan ini adalah lukisanku.
Lukisan banyak remaja yang sedang duduk-duduk di bangku itu benar-benar sarat kenangan untukku. Kusentuh satu goresan yang terlihat agak berbeda dari yang lain –meski sebetulnya goresan yang agak lain itu tidak terlihat jika tidak terlalu diperhatikan.
Tentu saja aku masih mengingat tangan siapa yang membuat goresan tebal itu. Orang itu… Orang yang kucintai.

***
Kala itu, usiaku masih belia. Masih di tingkat Sekolah Menengah Pertama. Aku menemukan cinta pertamaku tatkala berada dalam tingkat itu.
Aku tahu, sangat mengerti, ini terdengar klise tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menceritakannya. Aku hanya tidak ingin memendamnya lagi.
Jadi, seperti yang sering kau dengar, aku mengaguminya diam-diam. Dia salah seorang teman sekelasku. Dia menganggap aku saingannya –dalam konteks bercanda—karena peringkat kami selalu bersaing. Dan tentu, kami bersaing secara sehat.
Kami tidak dekat awalnya, tentu saja, tapi aku juga bingung entah bagaimana kami mendadak dekat. Mungkin dia mendekatiku atau malah sebaliknya, aku tidak tahu. Biar saja itu jadi rahasia Tuhan.
Di tingkat pertama (kelas tujuh), kami mulai dekat, dan tingkat kedua kami satu kelas lagi. Saat mengetahuinya, hatiku sangat girang. Tetapi, aku tidak mengerti, mendadak usai libur kenaikan kelas itu keadaan kami menjadi canggung lagi.
Disebabkan liburan, kecanggungan diakhiri juga karena liburan. Setelah liburan antar semester, dia mendekatiku lagi –ini perasaanku yang mengatakan. Entahlah siapa, yang jelas kami jadi begitu akrab.
Tingkat tiga, kami sudah berikrar menjadi sahabat. Di kelas sembilan itu, sesuai tradisi sekolahku, aku ditugaskan melukis gambar yang mewakili angkatan kami sebab akulah yang paling pandai melukis dari semua.
ide tidak kunjung datang, dan kala itu, aku merasa frustasi. Tapi dia menghiburku dan membantuku menemukan ide, hingga aku bisa menyelesaikan lukisan.
Goresan miliknya itu, kala itu dia lukiskan pertama kali. Aku masih ingat yang dia katakan,
“Ayo, coba lukis aja. Gue udah gambar satu garis dan lo tinggal ngelanjutin.”
Dan aku takkan pernah melupakan itu.
Kadang dia usil menebalkan beberapa garis di lukisanku. Saat itu aku kesal, tapi sekarang aku tertawa jika mengingatnya.
‘Srettt,’ dia menebalkan lukisanku.
“Uh, kenapa dicoret gitu! Jangan gitu dong!” Aku merengut kesal.
“Hahah, lo kan pinter lukis, ngga apa dong ngelukis lagi,” dia menjulurkan lidah usil.
“Iih! Jangan gitu!”
“Ngga lah. Gue ngga setega itu kok. Cuma negesin beberapa garis kok.” Aku menatap lukisanku dan melihat beberapa garis itu memang menambah nilai lukisan dan bukan menguranginya, lalu tersenyum padanya.
Dan senyum balasannya, sampai saat ini, masih menggetarkanku.
***
Hari ini adalah reuni untuk angkatanku dan beberapa angkatan di sekitar angkatanku. Reuni diadakan di sebuah restoran dekat sini, tetapi angkatan kami ingin bernostalgia dulu. Jadilah diputuskan untuk berkumpul dulu di sini. SMP kami.
“Viera!” panggilku saat melihat sahabat perempuanku saat SMP. Dia menatapku dan terlihat mengingat-ingat sebentar.
“Ah, El!” Viera menghampiriku.
 “Bener Vi kan?” Aku menghampirinya dan bergegas memeluknya. Sahabatku ini membalas pelukan singkatku lalu memperkenalkan lelaki yang ada di sebelahnya.
Hah, dia sudah punya pacar. Banyak temanku membawa pasangannya, mungkin hanya aku saja yang tidak. Karna aku sampai sekarang belum bisa melupakan dia.
Entah dia datang atau tidak ya ke reuni ini?
Kami lost contact setelah kelulusan dan menjalani kehidupan masing-masing. Awalnya kami masih sering berkomunikasi, tapi kemudian nomornya tidak bisa dihubungi lagi.
Aku tidak tahu harus bagaimana.
Akhirnya aku membiarkan semua berjalan secara alami. Sempat terbesit di otakku rasa sesal karena tidak menyatakan perasaanku, tapi kemudian aku menepisnya. Jika sudah takdir, aku akan bertemu dengannya lagi, kan?
Ah, sudahlah. Seharusnya aku bersenang-senang dalam nostalgia sekarang, bukan berpikir yang berat-berat.
Aku bertemu beberapa temanku. Ada beberapa yang sudah menikah –ya, menikah muda—dan membawa pasangan mereka. Ada satu teman sekelasku yang membawa anak tunggalnya –ya ampun, usia berapa dia menikah?—dan aku hanya bisa memandang iri.
Pasangan… Kemana aku harus mencarinya?
Beruntunglah, masih ada beberapa temanku yang juga datang sendiri. Yah, masih single. Tapi tetap saja masih lebih banyak yang punya pasangan.
Usai melepas rindu dan bernostalgia sebentar, kami bersiap menuju restoran. Aku tidak melihat dia, hah, biarlah. Lebih baik kunikmati saja masa SMP dalam reuni ini.
Restoran sudah ramai oleh angkatan lainnya. Angkatanku masuk dan duduk di tempat yang disediakan.
Meja bundar dengan delapan kursi itu aku dan teman-teman isi. Di sebelah kananku ada Viera dan kiriku kosong. Perasaanku terasa aneh dan ada yang mengganjal…
“Hai, sori gue terlambat.”
Jantungku benar-benar berhenti berdetak mendengar suara itu. Itu suara… Suara…
Dia duduk di kursi kiriku. Aku menoleh. Jika tadi jantungku berhenti berdetak, sekarang jantungku berdetak beribu-ribu kali lebih cepat.
“Hai, Elena,” ucapnya tersenyum ramah.
Aku membalas senyumnya yang sampai sekarang membuatku meleleh. “Hai, Devo.”
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)