Karya R
“Kala kita bertemu lagi…”
Aku mengamati dinding dari lorong yang kulewati. Koridor ini
terasa sangat sepi dan langkah kakiku terdengar memanjang. Mataku mengawasi
lukisan-lukisan yang terpajang sepanjang lorong. Begitu banyak lukisan, dan aku
tahu, lukisan-lukisan itu berasal dari berbagai angkatan berbeda.
Langkahku tiba-tiba terhenti, kesepian lorong ini semakin
terasa. Mataku terpaku menatap satu lukisan yang sepertinya sudah lama. Sangat
kukenal goresan-goresan dalam lukisan ini. Familier, tentunya, karena…
Lukisan ini adalah lukisanku.
Lukisan banyak remaja yang sedang duduk-duduk di bangku itu
benar-benar sarat kenangan untukku. Kusentuh satu goresan yang terlihat agak
berbeda dari yang lain –meski sebetulnya goresan yang agak lain itu tidak
terlihat jika tidak terlalu diperhatikan.
Tentu saja aku masih mengingat tangan siapa yang membuat
goresan tebal itu. Orang itu… Orang yang kucintai.
***
Kala itu, usiaku masih belia. Masih di tingkat Sekolah
Menengah Pertama. Aku menemukan cinta pertamaku tatkala berada dalam tingkat
itu.
Aku tahu, sangat mengerti, ini terdengar klise tapi aku
tidak bisa menahan diri untuk tidak menceritakannya. Aku hanya tidak ingin
memendamnya lagi.
Jadi, seperti yang sering kau dengar, aku mengaguminya
diam-diam. Dia salah seorang teman sekelasku. Dia menganggap aku saingannya
–dalam konteks bercanda—karena peringkat kami selalu bersaing. Dan tentu, kami
bersaing secara sehat.
Kami tidak dekat awalnya, tentu saja, tapi aku juga bingung
entah bagaimana kami mendadak dekat. Mungkin dia mendekatiku atau malah
sebaliknya, aku tidak tahu. Biar saja itu jadi rahasia Tuhan.
Di tingkat pertama (kelas tujuh), kami mulai dekat, dan
tingkat kedua kami satu kelas lagi. Saat mengetahuinya, hatiku sangat girang.
Tetapi, aku tidak mengerti, mendadak usai libur kenaikan kelas itu keadaan kami
menjadi canggung lagi.
Disebabkan liburan, kecanggungan diakhiri juga karena
liburan. Setelah liburan antar semester, dia mendekatiku lagi –ini perasaanku
yang mengatakan. Entahlah siapa, yang jelas kami jadi begitu akrab.
Tingkat tiga, kami sudah berikrar menjadi sahabat. Di kelas sembilan
itu, sesuai tradisi sekolahku, aku ditugaskan melukis gambar yang mewakili
angkatan kami sebab akulah yang paling pandai melukis dari semua.
ide tidak kunjung datang, dan kala itu, aku merasa frustasi.
Tapi dia menghiburku dan membantuku menemukan ide, hingga aku bisa menyelesaikan
lukisan.
Goresan miliknya itu, kala itu dia lukiskan pertama kali.
Aku masih ingat yang dia katakan,
“Ayo, coba lukis aja.
Gue udah gambar satu garis dan lo tinggal ngelanjutin.”
Dan aku takkan pernah melupakan itu.
Kadang dia usil menebalkan beberapa garis di lukisanku. Saat
itu aku kesal, tapi sekarang aku tertawa jika mengingatnya.
‘Srettt,’ dia
menebalkan lukisanku.
“Uh, kenapa dicoret
gitu! Jangan gitu dong!” Aku merengut kesal.
“Hahah, lo kan pinter
lukis, ngga apa dong ngelukis lagi,” dia menjulurkan lidah usil.
“Iih! Jangan gitu!”
“Ngga lah. Gue ngga
setega itu kok. Cuma negesin beberapa garis kok.” Aku menatap lukisanku dan
melihat beberapa garis itu memang menambah nilai lukisan dan bukan
menguranginya, lalu tersenyum padanya.
Dan senyum balasannya, sampai saat ini, masih
menggetarkanku.
***
Hari ini adalah reuni untuk angkatanku dan beberapa angkatan
di sekitar angkatanku. Reuni diadakan di sebuah restoran dekat sini, tetapi
angkatan kami ingin bernostalgia dulu. Jadilah diputuskan untuk berkumpul dulu
di sini. SMP kami.
“Viera!” panggilku saat melihat sahabat perempuanku saat SMP.
Dia menatapku dan terlihat mengingat-ingat sebentar.
“Ah, El!” Viera menghampiriku.
“Bener Vi kan?” Aku
menghampirinya dan bergegas memeluknya. Sahabatku ini membalas pelukan
singkatku lalu memperkenalkan lelaki yang ada di sebelahnya.
Hah, dia sudah punya pacar. Banyak temanku membawa pasangannya,
mungkin hanya aku saja yang tidak. Karna aku sampai sekarang belum bisa melupakan
dia.
Entah dia datang atau tidak ya ke reuni ini?
Kami lost contact
setelah kelulusan dan menjalani kehidupan masing-masing. Awalnya kami masih
sering berkomunikasi, tapi kemudian nomornya tidak bisa dihubungi lagi.
Aku tidak tahu harus bagaimana.
Akhirnya aku membiarkan semua berjalan secara alami. Sempat
terbesit di otakku rasa sesal karena tidak menyatakan perasaanku, tapi kemudian
aku menepisnya. Jika sudah takdir, aku akan bertemu dengannya lagi, kan?
Ah, sudahlah. Seharusnya aku bersenang-senang dalam
nostalgia sekarang, bukan berpikir yang berat-berat.
Aku bertemu beberapa temanku. Ada beberapa yang sudah
menikah –ya, menikah muda—dan membawa pasangan mereka. Ada satu teman sekelasku
yang membawa anak tunggalnya –ya ampun, usia berapa dia menikah?—dan aku hanya
bisa memandang iri.
Pasangan… Kemana aku harus mencarinya?
Beruntunglah, masih ada beberapa temanku yang juga datang
sendiri. Yah, masih single. Tapi
tetap saja masih lebih banyak yang punya pasangan.
Usai melepas rindu dan bernostalgia sebentar, kami bersiap
menuju restoran. Aku tidak melihat dia, hah, biarlah. Lebih baik kunikmati saja
masa SMP dalam reuni ini.
Restoran sudah ramai oleh angkatan lainnya. Angkatanku masuk
dan duduk di tempat yang disediakan.
Meja bundar dengan delapan kursi itu aku dan teman-teman
isi. Di sebelah kananku ada Viera dan kiriku kosong. Perasaanku terasa aneh dan
ada yang mengganjal…
“Hai, sori gue terlambat.”
Jantungku benar-benar berhenti berdetak mendengar suara itu.
Itu suara… Suara…
Dia duduk di kursi kiriku. Aku menoleh. Jika tadi jantungku
berhenti berdetak, sekarang jantungku berdetak beribu-ribu kali lebih cepat.
“Hai, Elena,” ucapnya tersenyum ramah.
Aku membalas senyumnya yang sampai sekarang membuatku
meleleh. “Hai, Devo.”
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)