Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Welcome to KCRdA weblog | take parcitipate with us | read stories | comment | send stories

Minggu, 01 November 2015

Friend Zone - Cerpen Remaja

Friend Zone
Karya Dhiandra Florensya

Selama ini aku sangat pandai memendam rasaku pada Rion, dia begitu ku kagumi, dia bernafas pun buat ku bahagia tiada tara. Jangankan memilikinya, duduk berdekatan dengannya pun adalah keberuntungan bagiku. Meskipun Rion masih saja menganggapku teman biasa, menoleh padaku pun sebatas bertegur sapa.


Sumpahku dalam hati sangat ingin menjadi bagian darinya, ku harap suatu hari keajaiban muncul dan membuatnya menatapku seperti ia menatap Nela, sahabatku.
Nela yang popular di kelas, parasnya cantik dan ramah, Rion sangat senang berjalan bersama Nela, mengobrol dengan canda tawa yang membuatku sesak.

"Reli! Sini dulu! Entar lah baliknya, bareng gue aja."
Rion menghampiriku, seketika rasa gugup menyerangku. Selama dua tahun dalam satu kelas, ini kali pertama Rion menawarkan hal yang amat ku inginkan.
"Lo ga bareng Nela?" Tanyaku ragu.
"Nela ada les, gue mao ajak lu ke Gramed."
"Beneran Yon?" Tanyaku dengan sapaan khas.
"Ya bener lah, lu kenapa sih? Yuk! Buruan berangkat!"
Aku terkejut tiba-tiba Rion menarik tanganku dan membawaku berjalan bersamanya.
Hatiku berbunga-bunga, wajahku merona, aku tau Rion tak begitu, tapi biarlah ku kecap bahagia ini sejenak, sendiri.

Rion dan aku pulang bersama setelah itu semakin sering, meskipun sekedar mengantarnya membeli sesuatu untuk Nela.
Aku bahagia bersamanya meskipun sebatas teman, setidaknya dia bersamaku.

"Yon, tugas Sosio udah kelar belom?" Tanyaku padanya siang itu ketika ia sedang tidur-tiduran di matras ruang olahraga. Dia menatapku sambil berbaring, sumpah aku sangat ingin berbaring dilengan kuat dilapisi kulit putih itu.
"Lu ngomongin tugas mulu Li, bikin bad mood tau." Gerutunya.
"Ya, daripada lu dimarahin bu Anes."
"Kalo lu care ama gue, buatin tugas gue lah, segini doang persahabatan kita? Tipis banget lu."
Aku terhenyak mendengar gerutuan itu, ku hela nafasku lalu tersenyum.
"Ya udah, gue salin buat lu."
Rion menatap mataku. Aku gugup dibuatnya.
"Reli, kalo gue suruh lu makan tai, lu mao juga?"
"Apaan sih Yon?!"
"Makanya jangan bego, udah biar gue bikin sendiri."
Rion beranjak, aku sangat takut ia membenciku. Namun beberapa langkah berjalan ia berbalik menoleh padaku.
"Terus lu ngapain disitu? Katanya mao bantu gue."
Aku tersenyum, beranjak mendekatinya.
Tuhan, aku begitu mencintainya.

Hampir kelulusan waktu itu, aku sangat sedih karena hariku dengan Rion akan berakhir setelah ini. Aku menangis sore itu menatap fotonya yang terselip di buku harianku.
Tuhan, jika hanya sebatas ini kisah kami berdua, ku harap aku lekas pulih setelah luka perpisahan ini. Suatu hari kami akan bertemu dengan senyum di wajah masing-masing, meskipun ia tak lagi memegang jemari ini, aku akan rela...bantu aku Tuhan.

"Reli mana tante?" Nela bertemu ibuku di depan pintu rumah.
"Ada di kamarnya, mari masuk!" Ibuku menuntun Nela menuju kamarku yang lupa ku kunci pintunya.
Aku tertidur pulas dengan buku harian di pelukanku.
Nela semula tak ingin memperdulikannya, namun rasa penasaran membuatnya membuka buku harianku dan membacanya satu persatu, lembar- perlembar berisi cerita indahku mencintai Rion dalam diam.
Nela terhenyak, matanya menahan air mata yang hampir luruh. Buku harian itu dibawanya pergi.
Aku panik ketika bangun tak lagi menemukan buku harian itu.
Aku marah-marah pada ibu, aku panik ketika tau Nela yang datang mengambilnya, ia pasti tau isi buku harian itu, lalu bagaimana jika Rion juga tau? Dia akan membenciku? Aku bisa mati.

Aku ragu untuk ke sekolah hari ini, namun aku harus tau kebenaran di mana buku harianku berada.
Alangkah peristiwa yang tak menyenangkan kala aku masuk ke kelas melihat Nela dan Rion sedang mengobrol dan buku harianku berada di tangan Rion.
Lututku terasa lemas, wajahku pucat seketika, degupan jantungku melemah.
Nela dan Rion serentak menatap kedatanganku dengan sinis.
Aku diam seribu bahasa, ingin beranjak keluar namun kakiku tertahan.
"Reli.." Panggilan Rion membuatku nyaris pingsan.
"Yon! Aku bisa jelasin, itu cuma novel kok, namanya aja sama. Jangan salah paham,Yon." Jelasku gugup.
Rion menghela nafas dan beranjak menghampiriku. Diserahkannya buku harian itu di tanganku. Dia menatapku, aku tertunduk malu.
"Cukup tau aja." Ujar Rion lalu beranjak pergi meninggalkan ku.
Aku seolah kehilangan ruh, aku melemah, hilang daya untuk bergerak.
Nela berlalu dengan sengaja menyenggol bahuku. Aku tersungkur.

Sejak hari itu, semuanya berubah. Rion duduk dengan Nela, keduanya makin akrab saja, lalu mereka hanya menganggapku debu yang tak terlihat.
Sikap dingin Rion padaku membuat ujianku anjlok. Aku dimarahi habis-habisan oleh ayahku. Aku menangis setiap malam sebelum tidur, aku menyesali ini. Andai aku bisa mengulang waktu, aku takkan bodoh mencintai khayalanku sendiri.

Aku fokus pada remedialku, ayah dan ibu menjadi pusat perhatianku, meskipun sangat amat terluka melihat Rion tiap harinya tak sudi menatapku. Aku berjuang keras.
Kelulusan tiba, aku lulus dengan nilai terbaik, Nela makin membenciku, dia sering kali menyindir pasal buku harian itu didepan semua orang di sekolah dan membuatku malu.
Disaat semua teman-temanku berpesta kelulusan, aku menangis sendirian di sudut kelas. Semua yang ku pendam ku lampiaskan dengan air mata yang terus bergulir.

"Kenapa lu nangis terus sih Rel?"
Suara itu membuatku terdiam seketika. Ku lihat Rion datang menghampiriku, ia tersenyum manis padaku.
"Selamat ya, nilai lu terbaik. Lu emang sahabat gue yang paling pinter sejagat raya."
Aku masih bengong dengan reaksi Rion padaku. Dia duduk di sampingku, senyumnya tak putus di depanku.
"Udah ah, udah berapa ember tuh air mata nangisin gue."
"Yon, gue..."
"Ssh...udahlah, lu ga salah kok. Gue yang bego. Seharusnya kalo lu suka ama gue, gue ga perlu jauhin lu, toh nyatanya gue kesepian tanpa lu."
"Maksud kamu?"
"Reli, maafin gue, gue bego malu sama temen-temen diejekin kalo pacaran ma lu, gue deket sama Nela biar orang ga ngejekin gue aja. Setelah gue pikir-pikir, ngapain gue harus malu? Gue ga ada apa-apa kalo ga ada lu, dari dulu lu yang selalu temenin gue, lu yang paling ngerti gue, selama diemin elu, gue juga sering nyalahin diri sendiri, tapi gue malu kalo ngomong gini ma elu."
"Yon, artinya kamu ga marah sama aku?"
"Marah sih ada Rel, kenapa lu ga jujur aja ma gue, daripada gue tau dari mulut rombeng si Nela, mendingan gue tau dari lu lah."
"Aku takut kamu marah Yon."
"Sekarang gue lebih marah kalo lu masih galau."
Rion tersenyum padaku, perlahan ia merangkulku.
"Maafin gue Rel, seharusnya gue sadar dari awal ada rasa yang ga biasa antara kita berdua. Gue sayang sama lu Reli...jangan nangis lagi gara-gara kebodohan gue."
Aku terhenyak serasa melayang diudara mendengar ucapan Rion padaku.
"Kabar baiknya, gue bisa satu kampus sama lu, gue belajar keras biar bisa bareng lu lagi. Jadi lu terima kan kalo gue jadi pacar lu sekarang?"
"Ini beneran Yon?"
"Bego amat lu, seriusan gue..."
"Nanti kamu malu pacaran sama aku Yon."
"Kenapa? Lu cantik, cerdas, baik, lu mah menang telak dari Nela."
Aku tersenyum, lega rasanya mendengar ucapan Rion yang sekian lama ku tunggu.
"Semua usaha lu buat dapetin cinta gue ga sia-sia kok, gue juga cinta sama lu sejak kelas satu, maafin gue ga bisa jujur."
"Makasih Yon, maafin aku juga."
Rion tersenyum lalu memelukku, aku balas memeluknya dengan perasaan haru.
"Gue sayang lu, Reli..."


Profil dan Lainnya

Lahir di Johor, 1 agustus 1993

1 komentar:

Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)