Karya Ajeng Jovita
Joffi masih terus menuntun bolpoinnya untuk memenuhi buku diarynya yang penuh harapan dan kisahnya. Buku diary coklat itu adalah pemberian ayahnya. Ayah yang sangat menyayanginya dan mendukung kemauannya. Berbeda dengan ibunya.
Seorang anak perempuan, biasanya dekat dengan ibunya karena mungkin persamaan atau lainnya. Tapi Joffi tidak. Ia dekat dengan ayahnya. Namun Joffi tidak terlalu terbuka dengan ayahnya. Ia lebih senang curhat dengan sahabatnya, Aiz.
“Assalamu’alaikum..” Seru Joffi setelah mengangkat telepon dari Aiz.
“Wa’alaikumsalam.. kamu kenapa, Joff?” Tanya Aiz yang begitu peka dengan keadaan Joffi.
“Kenapa?” Tanya Joffi balik. Hanya pura-pura tidak tahu.
“Kamu kenapa? Perasaanku ga enak!”
“Ya, seperti biasanya, Iz..” Joffi menundukkan kepalanya.
“Ibu?” Tanya Aiz mencoba menebak. Joffi terdiam. “Aku mengerti, Joff. Boleh aku ke rumahmu?”
“Ya nanti jam 8 aja.” Jawab Joffi singkat. Ia menahan butiran-butiran yang sudah terbendung dipelupuk matanya. Aiz menutup telepon. Joffi menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya dan menghela napas panjang. Pelan-pelan matanya tertutup dan air yang telah dibendung, mencucur deras.
“Mbak Joffi!” Teriak April membangunkan Joffi dari tidurnya. Matanya sterlihat sembab. Joffi membuka pintu kamarnya. “Ada Mas Aiz, tuh, Mbakk!” Kata April lagi. Joffi hanya mengangguk. Joffi menuruni tangga demi tangga dengan pelan. Matanya yang merah membuatnya tidak berani menatap Aiz yang sedang duduk di sofa. Joffi duduk di samping Aiz dan menyandarkan kepalanya dipundak Aiz.
“Joff, jangan sedih gitu, dong..” Seru Aiz seraya mengamati wajah sahabatnya iutu. Joffi menggelengkan kepalanya. Perempuan memang sok tegar dihadapan orang lain, namun sebenarnya sudah tidak kuat. “Cerita dong, JOff. Kayak baru kenal sama aku aja. Diem-diem gitu.” Seru Aiz.
“Ibu.. selalu ga pernah merhatiin aku.” Jawab Joffi. Matanya mulai berkaca-kaca. “Kamu tahu, kan. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kalau aku ajak kemana gitu mesti jawabnya ; ga sempet, sibuk, repot, itu-itu mulu.” Jawab Joffi yang mulai meneteskan airmata.
“lalu kamu mau kemana? Kan ada aku sama ayahmu yang nemenin kamu. Ada tiga sahabat kamu juga, kan?” jawab Aiz seraya mengusap airmata Joffi.
“Iya, tapi mereka ga sedekat aku sama kamu. Kalau aku mau cerita tentang cewek bagaimana? Kan malu kalau cerita ke kamu atau ayahku.”Joffi menangis.
“Kalau begitu, ke toko buku,yuk! Beli novel/” Bujuk Aiz dengan senyuman. Tapi sebenarnya Aiz tidak tega melihat sahabatnya dalam kesedihan. Joffi menggeleng.
“Aku takut dimarahin ibu. Nulis saja ga boleh apalagi beli buku, novel pula. Kamu tau, ibu ga pernah membimbingku untuk menjadi apa yang diinginkannya. Aku juga ga tau ibu ingin aku jadi apa. Semua yang kulakukan selalu salah.” Joffi semakin menangis. “Tiap ketemu aku selalu marah-marah. Apa yang diinginkan aku ga tahu. Apa cita-citaku untuk jadi penulis itu salah? Ia selalu menghina. Apa penulis itu hina sih, Iz?” Joffi menangis sejadi-jadinya. Ia memukuli Aiz sebagai pelampiasan hatinya. Aiz segera mmendekap Joffi.
“Joff, tenang dulu.” Kata Aiz pelan. Joffi menangis dipelukan sahabatnya. “Sekarang kamu mulai menulis!” Seru Aiz. Joffi memandang Aiz bingung. “Kamu menulis dan tunjukin ke ibumu kalau penuls itu hebat. Buka sesuatu yang pantas untuk dihina.” Kata Aiz dengan senyuman manisnya.
“Tapi…”
“Sudahlah! Ayah kamu kan juga pernah bilang buktikan ke ibumu kalau bakatmu itu besar. Aku sependapat dengan ayahmu.” Entah apa yang akan dikatakan Joffi, Aiz tidak mau mendengarnya. Joffi tersenyum lebardengan pipinya yang masih basah. Aiz juga tersenyum meskipun sebenarnya ia ingin menangis melihat keadaan sahabatnya. Aiz mengusap pipi Joffi.
“ Mulai sekarang, aku harus mengejar cita-citaku.” Seru Joffi. Aiz semakin tersenyum. Ia mengulurkan jari kelingkingnya lalu segera digandeng dengan jari kelingkin Joffi. “Makasih, Iz. Tanpa orang-orang yang mendukungku, mungkin aku sudah tidak kuat dan tidak punya cita-cita lagi. Kamu sahabat terbaikku!” seru Joffi dengan senyumnya. Aiz merengkuh Joffi dalam pelukannya.
“Wa’alaikumsalam.. kamu kenapa, Joff?” Tanya Aiz yang begitu peka dengan keadaan Joffi.
“Kenapa?” Tanya Joffi balik. Hanya pura-pura tidak tahu.
“Kamu kenapa? Perasaanku ga enak!”
“Ya, seperti biasanya, Iz..” Joffi menundukkan kepalanya.
“Ibu?” Tanya Aiz mencoba menebak. Joffi terdiam. “Aku mengerti, Joff. Boleh aku ke rumahmu?”
“Ya nanti jam 8 aja.” Jawab Joffi singkat. Ia menahan butiran-butiran yang sudah terbendung dipelupuk matanya. Aiz menutup telepon. Joffi menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya dan menghela napas panjang. Pelan-pelan matanya tertutup dan air yang telah dibendung, mencucur deras.
“Mbak Joffi!” Teriak April membangunkan Joffi dari tidurnya. Matanya sterlihat sembab. Joffi membuka pintu kamarnya. “Ada Mas Aiz, tuh, Mbakk!” Kata April lagi. Joffi hanya mengangguk. Joffi menuruni tangga demi tangga dengan pelan. Matanya yang merah membuatnya tidak berani menatap Aiz yang sedang duduk di sofa. Joffi duduk di samping Aiz dan menyandarkan kepalanya dipundak Aiz.
“Joff, jangan sedih gitu, dong..” Seru Aiz seraya mengamati wajah sahabatnya iutu. Joffi menggelengkan kepalanya. Perempuan memang sok tegar dihadapan orang lain, namun sebenarnya sudah tidak kuat. “Cerita dong, JOff. Kayak baru kenal sama aku aja. Diem-diem gitu.” Seru Aiz.
“Ibu.. selalu ga pernah merhatiin aku.” Jawab Joffi. Matanya mulai berkaca-kaca. “Kamu tahu, kan. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kalau aku ajak kemana gitu mesti jawabnya ; ga sempet, sibuk, repot, itu-itu mulu.” Jawab Joffi yang mulai meneteskan airmata.
“lalu kamu mau kemana? Kan ada aku sama ayahmu yang nemenin kamu. Ada tiga sahabat kamu juga, kan?” jawab Aiz seraya mengusap airmata Joffi.
“Iya, tapi mereka ga sedekat aku sama kamu. Kalau aku mau cerita tentang cewek bagaimana? Kan malu kalau cerita ke kamu atau ayahku.”Joffi menangis.
“Kalau begitu, ke toko buku,yuk! Beli novel/” Bujuk Aiz dengan senyuman. Tapi sebenarnya Aiz tidak tega melihat sahabatnya dalam kesedihan. Joffi menggeleng.
“Aku takut dimarahin ibu. Nulis saja ga boleh apalagi beli buku, novel pula. Kamu tau, ibu ga pernah membimbingku untuk menjadi apa yang diinginkannya. Aku juga ga tau ibu ingin aku jadi apa. Semua yang kulakukan selalu salah.” Joffi semakin menangis. “Tiap ketemu aku selalu marah-marah. Apa yang diinginkan aku ga tahu. Apa cita-citaku untuk jadi penulis itu salah? Ia selalu menghina. Apa penulis itu hina sih, Iz?” Joffi menangis sejadi-jadinya. Ia memukuli Aiz sebagai pelampiasan hatinya. Aiz segera mmendekap Joffi.
“Joff, tenang dulu.” Kata Aiz pelan. Joffi menangis dipelukan sahabatnya. “Sekarang kamu mulai menulis!” Seru Aiz. Joffi memandang Aiz bingung. “Kamu menulis dan tunjukin ke ibumu kalau penuls itu hebat. Buka sesuatu yang pantas untuk dihina.” Kata Aiz dengan senyuman manisnya.
“Tapi…”
“Sudahlah! Ayah kamu kan juga pernah bilang buktikan ke ibumu kalau bakatmu itu besar. Aku sependapat dengan ayahmu.” Entah apa yang akan dikatakan Joffi, Aiz tidak mau mendengarnya. Joffi tersenyum lebardengan pipinya yang masih basah. Aiz juga tersenyum meskipun sebenarnya ia ingin menangis melihat keadaan sahabatnya. Aiz mengusap pipi Joffi.
“ Mulai sekarang, aku harus mengejar cita-citaku.” Seru Joffi. Aiz semakin tersenyum. Ia mengulurkan jari kelingkingnya lalu segera digandeng dengan jari kelingkin Joffi. “Makasih, Iz. Tanpa orang-orang yang mendukungku, mungkin aku sudah tidak kuat dan tidak punya cita-cita lagi. Kamu sahabat terbaikku!” seru Joffi dengan senyumnya. Aiz merengkuh Joffi dalam pelukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)