Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Welcome to KCRdA weblog | take parcitipate with us | read stories | comment | send stories

Minggu, 14 Desember 2014

Secangkir Kopi

Secangkir Kopi
Karya ImaRosyi



Sebuah cerpen oleh ImaRosyi
















Pagi ini, sebelum berangkat ke sekolah sekaligus mengantar anak saya untuk sekolah, iseng saja saya ambil sebuah koran langganan saya yang diletakkan oleh istri saya di bawah meja ruang tamu. Saya jarang membacanya, karena saya selalu berangkat pagi dan pulang sore, sehingga berjajar rapi tiga tumpuk koran di bawah meja tersebut.


Saya membuka lipatan pertama lalu membuka lipatan kedua, hingga koran itu terbuka lebar di depan wajah saya. Pada halaman pertama koran tersebut, terpampang berita utama mengenai pemilu legislatif sebulan yang lalu yang beritanya berlanjut ke halaman sekian. Di bagian bawah berita utama itu, ada kolom pemikiran mahasiswa yang juga berlanjut ke halaman berikutnya. Di bagian pojok kiri bawah, terdapat kolom resep masakan yang beritanya berlanjut ke halaman sekian. Di atasnya, terdapat kolom tokoh inspiratif yang juga berlanjut ke halaman sekian.


Pandangan mata saya berhenti pada kolom tokoh inspiratif, ketika saya membaca judul pada kolom tersebut. Saya baca huruf pertama pada kata pertama pada kalimat pertama pada paragraf pertama berita tersebut.


Saya tak bisa berhenti membacanya, saya juga tak bisa untuk tidak tersenyum. Darah saya rasanya mengalir lebih cepat dari aliran darah saya pada hari-hari biasa, dan pada beberapa menit sebelum membaca berita pada kolom tokoh inspiratif tersebut. Darah saya terasa panas, sama panasnya dengan secangkir kopi di hadapan saya. Jantung saya rasanya sedang ikut perlombaan lari maraton. Ada rasa bangga yang tebersit di dalam hati saya. Ada rasa haru yang menggebu, sejujurnya saya ingin menangis, namun air mata saya tidak mau menetes. Mungkin air mata itu tahu bahwa saya seorang lelaki, sehingga mereka tidak ingin membuat saya tampak cengeng.


Tiba-tiba saja otak saya memutar kembali ‘video’ kejadian lima tahun yang lalu. Suatu kejadian yang pada akhirnya membuat saya membaca berita mengenai tokoh inspiratif di pagi hari ini.  


                                                                                                      ***

Di hadapanku, duduk seorang anak laki-laki berseragam putih dan abu-abu. Tak seperti kebanyakan siswa lainnya yang jika saya sidang sering kali merasa cemas, anak itu tampak tenang-tenang saja, bahkan setelah sekian pertanyaan dan pernyataan saya lontarkan, ia tetap kelihatan tenang dan menjawab pertanyaan saya dengan kalem.


“Apa nggak eman-eman Mas? Nilai rapor kamu kan rata-ratanya sembilan, saya yakin rata-rata nilai ujian nasionalmu juga akan sembilan.” Ucapku sambil menatapnya lekat.


“Hanya membuat makalah, kamu kan tidak disuruh remidi kehadiran. Cukup membuat makalah, maka nilai kepanduanmu akan memenuhi nilai minimal yang harus dicapai.” Lanjutku berusaha membujuknya.


Anak itu tersenyum simpul. “Saya nggak masalah, kalau pada akhirnya nilai kepanduan saya di bawah nilai minimal, saya nggak menyesal. Karena saya memang nggak suka dengan ekstrakurikuler tersebut, kenapa saya harus menggebu membuat makalah agar saya mendapat nilai kepanduan?”


“Masalahnya, kamu tahu sendiri, kepanduan di sekolah kita bersifat wajib. Kalau kamu nggak lulus kepanduan, maka sekolah juga nggak bisa meluluskan kamu, karena itu nggak adil buat teman-teman kamu.”


“Saya nggak minta diluluskan. Kalau memang peraturannya seperti itu, saya bisa terima. Kenapa saya mesti melakukan hal yang nggak saya sukai dan membuang-buang waktu saya hanya demi menyandang gelar “lulus” ?”


Saya menghela napas panjang. Saya tak habis pikir, ada anak kelas tiga SMA yang berpikiran seperti itu. Bocah-bocah seusianya melakukan segala cara agar di rapor mereka tertulis kata “lulus.” Mereka yang dituntut untuk mengumpulkan segudang tugas dan pekerjaan rumah melakukan segala cara agar tugas tersebut cepat selesai. Namun anak ini tidak begitu. Ia hanya perlu membuat sebuat makalah yang tak lebih dari sepuluh halaman, agar mendapat nilai “c” dalam kepanduan, nilai minimal agar dinyatakan lulus. Ia hanya perlu duduk di depan komputer dan bisa mencari materi di internet, lalu copy-paste ke Microsof Word dan sedikit mengedit, hanya seperti itu, namun ia tidak mau.


Alasannya, ia memiliki prinsip. Sekali tidak, ya tetap tidak. Ia tidak mau mengkhianti dirinya sendiri. Dengan mengerjakan makalah tersebut, berarti dia telah mengkhianati diri sendiri. Dengan mengerjakan makalah tersebut, berarti ia rela melakukan pekerjaan yang menurutnya tak masuk akal hanya agar dirapornya tertulis kata “lulus.”


Orang lain yang tak benar-benar memahaminya pasti berpikir bahwa anak ini sangat bodoh dan gila, sama seperti saya pada awalnya. Namun setelah mendengar penjelasannya selama dua jam, saya paham tentang jalan pikirannya, dan bisa sedikit menerima maksudnya, walau saya tak sepenuhnya bisa menerima apa yang ia pikirkan.


Dia salah satu murid “emas” di sekolah ini. Sejak kelas satu ia tak pernah absen dari ranking lima besar, bahkan , ia pernah dua kali masuk ranking sepuluh besar pararel. Ia anak yang rajin, saya tahu itu. Ia selalu mengerjakan pekerjaan rumah yang saya berikan, dan guru-guru yang lain pun juga mengatakan bahwa ia termasuk anak yang aktif bertanya dan anteng jika guru sedang menerangkan pelajaran.


Selain itu, selaku wali kelasnya , saya tahu ekstrakurikuler apa saja yang ia ikuti. Ia adalah anggota rohanian Islam, juga anggota jurnalistik dan klub fotografi. Saya sering melihat namanya tertulis pada sampul majalan sekolah sebagai salah satu wartawan, atau sering melihat namanya tertulis pada suatu berita yang ada di majalah sekolah. Dia anak yang aktif dan rajin.


Maka dari itu, saya kaget dan tak percaya, ketika pertama kali mendapat laporan dari salah satu pembina kepanduan yang mengatakan bahwa ia harus remidi kepanduan. Saat itu saya bertanya “Semalas apa dia hingga harus remidi kepanduan?”


Saya merasa bahwa pembina kepanduan itu salah orang. Saya meminta pembina kepanduan itu untuk memastikan bahwa bukan anak itu yang dimaksud. Namun, setelah dua kali dilakukan pemeriksaan, ternyata memang anak itu yang dimaksud. Pembina kepanduan itu tidak salah orang, tetapi saya yang salah menduga.


Dua kali saya mengatakan pada anak itu agar segera membuat makalah, sebelum ujian nasional tiba. Ia selalu mengangguk dan tersenyum, tanpa mengatakan satu katapun, setidaknya “Iya” atau “tidak mau.”


Dua minggu sebelum ujian nasional dilaksanakan, pembina kepanduan kembali mendatangi saya. Saat itu, dahi saya berkerut seperti simbah-simbah. Saya heran, mengapa anak itu belum juga membuat makalah. Setahu saya, dia adalah anak rajin dan penurut, dan bukan merupakan golongan trouble maker yang sering membuat wali kelas dan guru bimbingan konseling mengelus dada.


Saya ingatkan lagi dia. “Mas, belum mengumpulkan makalah ya? Kapan mau mengumpulkan?” Tanya saya suatu hari saat berpapasan dengannya di koridor.


Ia tersenyum “Kapan-kapan deh Pak, hehe.” Dia cengengesan.


“Kapan-kapan itu kapan? Sebentar lagi ujian nasional lho Mas, semua nilai harus segera masuk.”


“Ya, justru karena sebentar lagi ujian nasional, makanya saya nggak bisa membuat makalah, konsentrasi saya ada di ujian nasional.”


“Ck, alesan. Masalahnya, saya terus-terusan ditegur pembina kepanduan. Saya kan, nggak enak dengan orangnya. Kalau saya yang jadi pembina kepanduan sih, saya bisa kasih kamu dispensasi, sayangnya, bukan saya yang jadi pembina kepanduan.”


“Ya, Bapak kan wali kelas yang baik hati dan tidak sombong. Yang tampan dan tidak gampang marah. Kasihani muridnya Bapak yang kale mini dong, tolong kasih dispensasi.” Ucapnya penuh pujian.


Saya mendesah. “Ya sudah, nanti saya minta keringanan ke pembina kepanduan. Tapi janji lho, harus mengerjakan makalah itu.”


“Saya janji kalau saya nggak berani janji untuk mengerjakan makalah tersebut. Hehe.” Dia tersenyum lebar seperti kuda.


Saya menggelengkan kepala, lalu segera berlalu.


Saya pikir anak itu hanya bercanda, ternyata anak itu benar-benar tidak berani berjanji untuk menyelesaikan makalah. Karena hingga detik ini, hingga kami berdua berada di ruang guru yang sangat sepi ini, ia belum juga mengetik satu huruf pun untuk menyelesaikan makalahnya.


“Saya paham dan ngerti kalau kamu nggak suka Kepanduan. Tetapi, jangan kaya gitu lah! Kamu nggak kasian sama orangtua kamu? Anaknya pintar dan selalu masuk lima besar tetapi tidak lulus SMA.” Ucap saya setelah meneguk secangkir kopi di hadapan saya.


“Maaf Pak, sekali nggak ya nggak. Jika saya membuat dan mengumpulkan makalah itu, sama saja saya berjalan dimuka umum tanpa sehelai benang pun demi lulus, melakukan sesuatu yang nggak saya inginkan demi mendapat gelar ‘lulus’.”


Saya menyesap kopi yang sekitar dua puluh menit lalu saya buat, kopi itu sudah dingin, lidah saya sedikit menolak. “Kenapa sih, kamu kok nekat banget melakukan hal ini?”


“Saya hanya nggak ingin membuang-buang waktu saya untuk melakukan pekerjaan yang bagi saya kurang bermanfaat. Ada banyak hal bermanfaat yang bisa saya lakukan. Ada banyak hal yang sepuluh kali lebih penting ketimbang membuat makalah yang harus saya lakukan.”


Saya letakkan cangkir berwarna coklat ke atas meja di hadapan saya dan anak itu. Diam sejenak. Mencerna kata-kata anak itu.


“Cita-cita kamu apa Mas?” Tanya saya keluar dari pokok permasalahan yang sedang kami bahas.


Anak itu menaikan alis sebelah kirinya. Mungkin dia bingung, kenapa tiba-tiba guru muda yang saat ini duduk di hadapannya tiba-tiba menanyakan perihal cita-citanya. Bahkan, saya yakin, kalian yang tengah membaca cerita ini pasti juga bingung mengapa tiba-tiba saya menanyakan perihal cita-citanya.


“Dokter.” Jawabnya singkat.


“Dokter apa?”


“Penginnya, dokter yang menangani kanker, kanker apa saja yang penting kanker. Atau, dokter yang menangani saraf.”


“Kenapa gitu? Menariknya apa? Berarti kan kamu harus melakukan operasi, membedah-bedah tubuh pasienmu.”


“Ya, karena, kebanyakan orang-orang di Indonesia sakitnya berkaitan dengan kanker. Saya cuma pengin mengobati orang-orang yang nggak bisa operasi karena nggak punya uang.”


Saya mengangguk paham.


Lagi. Saya diam beberapa saat, anak itu juga ikut diam. Saya tatap langit-langit ruang guru ini.


“Kegiatan kamu di rumah, apa saja? Selain belajar dan mengerjakan PR?”


“Kalau bulan puasa, ya, ngajar ngaji. Sebulan sekali, bersih-bersih masjid sama remaja masjid. Kadang-kadang, saya sama teman-teman saya jadi pemulung.”


Saya tercekat. Jadi pemulung? Setahu saya anak ini berasal dari keluarga over berkecukupan.


“Ngapain?” Tanya saya penuh selidik, meragukan pernyataannya.


“Orangtuanya teman saya, ada yang buka usaha barang daur ulang. Dia sering ngajak saya buat nyari plastik bekas buat didaur ulang.”


Saya mengembuskan napas, lega. Saya pikir dia sungguhan jadi pemulung seperti pemulung-pemulung pada umumnya.


Saya kembali diam. Saya ambil cangkir cokelat tadi yang isinya tinggal separuh, lalu menyesap isinya hingga tersisa seperempat cangkir.


“Jadi, kamu beneran nggak mau membuat makalah itu? Masih pada prinsip kamu, kalau kamu nggak mau membuang-buang waktu?” Anak itu mengangguk.


Saya paham sekarang. Saya mengerti maksud anak ini. Mendengar ceritanya mengenai cita-cita dan kegiatannya di rumah, saya yakin alasan anak itu tidak mau membuat makalah bukan karena dia anak yang malas. Saya tahu, dia sudah dewasa. Jauh lebih dewasa dibanding teman-temannya. Dia hanya ingin mempertahankan prinsipnya. Suatu prinsip untuk tidak mengerjakan sesuatu yang menurutnya tidak bermanfaat.


Tapi, saya tidak bisa menerima keputusannya begitu saja. Saya guru sekaligus wali kelasnya. Sekolah kami seperti sekolah tentara. Sangat disiplin. Jika nilai kepanduannya tidak memenuhi nilai minimal kelulusan, maka pihak sekolah tidak dapat meluluskannya, meskipun ia anak yang pintar dan rajin, karena hal itu tidak akan adil bagi teman-temannya.


Saya yang tidak akan terima dan ikhlas jika anak secerdas dan serajin dia tidak lulus SMA hanya karena nilai kepanduannya tidak memenuhi nilai minimal kelulusan. Sumpah! Saya tidak ikhlas, saya benar-benar ingin memperjuangkan anak ini, namun anak ini justru tidak mau memperjuangkan dirinya sendiri.


“Nanti, biar saya ajak bicara Pembina Pramuka. Barangkali ada keringanan buat kamu.” Ucap saya sambil mengetuk-ketukan jemari tangan kanan saya pada meja di hadapan kami.


Anak itu membenarkan posisi duduknya. “Jangan Pak. Persyaratan lulus dari sekolah ini adalah nilai semua mata pelajaran dan ekstrakurikuler yang wajib harus memenuhi nilai minimal kelulusan. Teman-teman saya berjuang mati-matian supaya nilai kepanduannya memenuhi nilai minimal kelulusan. Saya tidak mau mengerjakan makalah, berarti seharusnya nilai kepanduan saya berada di bawah nilai minmal kelulusan. Kalau saya diluluskan, itu nggak akan adil buat teman-teman saya.”


Apa yang baru saja dia katakan? Dasar bocah kenthir! Tidak banyak guru sekolah negeri yang mau memperjuangkan muridnya agar lulus. Kebanyakan dari guru-guru sekolah negeri, terutama yang sudah senior enggan memperjuangkan, kecuali mereka yang masih junior seperti saya.Seharusnya anak ini bersyukur, tapi barusan apa? Dia menolak? Dasar, bocah edan!


Saya menarik napas panjang, tak habis pikir dan tak bisa menerima pernyataannya. “Kamu boleh tidak membuat makalah, tapi kamu tidak boleh jika tidak lulus. Saya bisa lihat potensi kamu, sayang sekali kalau kamu sampai tidak lulus.” Ucap saya tegas, sebenarnya saya menahan amarah saya. Rasanya, ingin sekali saya bentak anak ini!


Dia tersenyum tipis. “Sekolah, seharusnya menjadi tempat untuk mengajarkan betapa nggak baiknya melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Jika peraturannya seperti itu, saya ikhlas kok jika harus nggak lulus. Lagi pula, apa gunanya kejar paket jika kita takut untuk nggak lulus?”

Saya rasa pertanyaannya merupakan pernyataan. Dia tidak butuh jawaban dari saya, maka saya memilih untuk diam.

Anak ini tampak lima belas tahun lebih muda dari saya. Tapi pikirannya seumuran dengan pikiran saya, bahkan saya rasa pikirannya lebih tua dari pikiran saya.Saya ambil cangkir berwarna cokelat tadi, lalu menghabiskan isinya.


“Ya sudah, kalau memang itu mau kamu. Semoga keputusan kamu adalah yang terbaik.” Ucap saya setengah hati.             

                                                          ***

Pada koran itu diceritakan mengenai seorang dokter muda asal Indonesia. Mulai dari biografi, riwayat pendidikan, hingga karirnya saat ini. Disebutkan pula berita-berita positif yang menurut saya tak ada bedanya dengan pujian. Mengenai tempat kerja dokter itu, tentang klinik gratis yang di dirikan oleh dokter itu, tentang rumah sakit murah yang didirikan dokter tersebut. Tentang kebiasan dokter tersebut yang gemar ‘travelling’ ke plosok-plosok penjuru tanah air untuk mengobati orang-orang yang tak mampu datang ke rumah sakit untuk berobat, jangankan untuk berobat, mendengar kalimat “rumah sakit” pun mereka merasa merinding. Tentang aktivitasnya di PMI dan yang terakhir tentang pengalamannya ke Palestina, Syria dan Filipina.


Saya kini benar-benar paham, tentang pernyataan anak laki-laki itu. Saya kini bisa menerima keputusannya sepenuh hati.


Anak laki-laki yang dulu namanya sering tertulis di majalah sekolah, kini namanya tertulis di salah satu koran nasional. Anak laki-laki yang dulu fotonya sempat dimuat di majalah sekolah, kini fotonya dimuat di salah satu koran nasional.


Kini, saya mengerti arti dari pernyataannya bahwa ia tidak ingin melakukan hal yang hanya membuang-buang waktu. Kini, saya mengerti pernyataannya bahwa ada banyak hal yang sepuluh kali lebih bermanfaat ketimbang membuat makalah agar nilai kepanduannya memenuhi nilai minimal kelulusan.      

Anak laki-laki itu sudah berhasil menunjukkannya pada saya. Dan kini, saya percaya bahwa dia adalah anak pandu sejati, meski ia tak pernah mengikuti ekstrakurikuler kepanduan dan tak pernah menyelesaikan makalah itu.  



Selesai di Yogyakarta, 12 Juli 2014 6:46 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)