Rain Over Us
Karya R
Aku menangis di bawah hujan, kala itu.
Kamu hanya mengelus punggungku, menenangkanku, dan mengatakan semuanya baik-baik saja.
Bagaimana kamu bisa berkata begitu? Aku benar-benar sedih dan marah. Aku marah pada takdir yang mempermainkanku. Aku benci segalanya. Aku benci takdir, aku benci hujan, aku juga benci kamu.
Semuanya sama sekali tidak baik-baik saja! Segalanya hanya omong kosong. Semua ucapanmu omong kosong. Meski esoknya kamu tidak masuk sekolah karena demam, kehujanan menemaniku. Sementara aku? Meski dengan keadaan demam, aku bisa masuk sekolah.
Semuanya omong kosong. Kamu bilang tidak akan meninggalkanku sepertinya, tapi nyatanya? Kamu itu cuma berbicara omong kosong, omong kosong yang tidak pernah kumengerti.
Aku tak mengerti, memang. Aku tidak pernah mengerti segala omong kosong yang orang ucapkan. Semau bilang aku menyedihkan. Aku tahu itu, tapi... Kamu meyakinkanku bahwa aku istimewa, bahwa aku berhak mendapatkan seseorang untuk menemaniku. Bahwa aku juga berhak atas hidup, bahwa aku berhak punya masa depan, aku berhak punya teman.
Tapi nyatanya?
Semua pergi, semua pergi. Tanpa pamit. Aku tidak pernah tahu kemana.
Ayahku, ibuku, kakakku, teman pertamaku, ...
Apa aku pembawa sial? Semua yang ada di dekatku pasti pergi.
Apa aku tidak berhak, mendapatkan seseorang untuk membantuku melewati hari-hari?
Kalau kamu...
Kamu lebih parah lagi. Kamu pergi begitu saja, tanpa pamit.
Aku masih ingat apa yang kamu lakukan ketika seluruh keluargaku pergi. Aku menangis di bawah hujan dan kamu menemaniku, mengelus punggungku, menenangkanku.
Aku masih ingat waktu kekasihku yang terakhir ternyata hanya mempermainkanku. Dia mengatakan aku pembawa sial, aku tidak berhak bersamanya, bahwa semua yang dia lakukan hanya taruhan belaka.
Aku kembali menangis di bawah hujan, dengan kamu yang menenangkanku, mengelus punggungku, dan menemaniku sepanjang hujan.
Semua kenangan itu membuatku gila. Gila karenamu.
Kamu temanku sejak kecil, sejak dulu. Kamu temanku sejak aku lahir. Kamu menemaniku saat aku kesepian, saat kakakku memiliki dunianya sendiri dan orangtuaku sibuk bekerja. Kamu sahabatku yang paling baik. Kamu sahabatku yang paling tulus, yang membuatku merasa bahwa aku berhak punya teman.
Kamu menemaniku saat harga diriku diinjak-injak di sekolah. Saat harga diriku jatuh serendah-rendahnya, bahkan saat semua orang mengatakan kamu bodoh karena mau berteman denganku. Saat aku putus asa, bahkan nyaris... Bunuh diri.
Aku nyaris menyayat pergelangan tanganku sendiri, aku merasa tak punya harapan. Aku tak punya kawan, di sekitarku seolah hanya ada ranjau yang akan meledak saat aku menyentuhnya.
Tapi kamu mendadak menemukanku, kamu membelai rambutku, menenangkanku dan kembali menemaniku menangis di bawah hujan.
Aku tahu aku membuatmu sedih. Kamu mengatakan kamulah kawanku, bahwa aku punya kamu. Kamu selalu menenangkanku dan selalu berhasil. Kamu membuatku tergantung padamu dan hujan, dan air mata.
Sampai kamu pergi begitu saja. Tanpa pamit, tanpa kata, tanpa apa-apa. Seolah-olah aku hanyalah seonggok lap kotor tak berguna di sudut dapur, tidak punya makna.
Kalau begitu buat apa aku hidup?
Aku sudah ingin bunuh diri lagi kalau tidak tiba-tiba ucapanmu terngiang di kepalaku. Bahwa bunuh diri hanya tindakan sia-sia, bahwa aku akan menyesal, bahwa kamu akan... Kehilangan.
Lalu kamu anggap aku bagaimana? Kamu pergi tanpa pamit. Tidak, kamu tidak pergi dimana kamu takkan kembali. Tapi aku bahkan tak tahu bagaimana nasibmu, bagaimana keadaanmu, apakah kamu masih hidup atau sama seperti semua orang, pergi.
Kamu membuatku menangis lagi di bawah hujan. Waktu itu, dua tahun yang lalu. Saat aku tak mendapatimu di mana pun... Dan kemudian aku menemukan asisten rumah tanggamu berkata, "Tuan Muda sudah berangkat, nona." Entah ke mana. Kali menangis itu kali pertama aku menangis sendirian, tanpa kamu yang menemani dan menenangkanku.
Semua sudah lewat dua tahun.
Aku berpikir, apa kamu masih mengingatku atau malah melupakanku? Apa semua ucapanmu bukan omong kosong? Aku berpikir seperti itu dan aku tahu bahwa aku hanya berkhayal.
Semua ucapanmu omong kosong. Tak ada artinya. Hanya sekedar mencuci lap kotor, lalu membiarkannya kotor lagi dan mencucinya lagi. Hanya sekedar...
Tapi itu sudah lewat dua tahun. Aku bukanlah lagi aku yang dulu. Aku adalah gadis yang tidak anti-sosial lagi, berkatmu. Aku ceria dan selalu berpikir positif, berkatmu. Aku punya banyak teman, berkatmu.
Tapi kusadari seluruh ucapanmu hanya omong kosong, dan saat berpikir begitu seluruh semangatku langsung turun ke inti bumi terdalam.
Tapi kemudian teman-teman baruku menghiburku. Mereka benar-benar sahabat yang baik. Semua bergantian menepuk pundakku dan mengelus punggungku seperti yang biasa kamu lakukan. Mereka menghiburku, bertingkah konyol, bahkan merendahkan harga diri untuk menghiburku. Mereka membawaku ke semua tempat yang menyenangkan, yang kira-kira bisa membuatku tersenyum. Mereka tak tahu tentang kamu, tapi mereka paham aku sedih. Saat itu aku sangat berterimakasih kamu telah mengubahku. Mungkin kamu pergi dariku agar semua ini terjadi padaku?
Tapi kupikir semua hanya omong kosong. Kamu ingkar janji, tetap saja.
Semua pikiran itu selalu membuatku naik-turun. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku... Tapi aku marah padamu. Aku kecewa. Kamu pergi, bahkan tanpa mengatakan apapun!
Setidaknya katakanlah apa kamu akan kembali atau tidak.
Aku ingat pertemuan terakhir kita. Dua tahun yang lalu, semalam sebelum aku mendapatimu tak ada di manapun. Kita duduk di balik jendela, menatap hujan yang mulai turun. Lalu kamu mengatakan sesuatu yang aneh. Bahwa aku harus bangkit.
Oh, kamu sudah berencana pergi dariku tanpa pamit. Bahkan tanpa kepastian apa kamu akan kembali atau tidak. Sekali lagi, kamu hanya berucap omong kosong.
Sekarang aku merasa konyol berada di tempat dulu aku sering menangis di bawah hujan. Dengan elusanmu di punggungku, dengan kata-kata menenangkanmu, dengan dirimu di sebelahku.
Sudah lama sekali aku tidak pernah ke sini. Terakhir kali adalah saat aku menangis sendirian, menyadari seluruh ucapanmu hanyalah omong kosong.
Aku menatap tanah, tempat biasa kita memijak. Tempat biasa aku menangis dan kamu menenangkanku.
Lucu sekali, aku mulai tertawa kecil. Semua ini benar-benar bodoh dan konyol, aku terus tertawa sampai menyadari setetes air dari atas menyentuh kulit kepalaku.
Hujan.
Lucu sekali, bahkan hujan mengerti. Hujan turun kala aku kembali ke sini.
Saat hujan mulai deras, aku tidak menyingkir. Aku membiarkan hujan membasahi tubuhku dengan deras, membuat seluruh pakaianku lembap. Tapi kali ini aku tidak menangis. Aku tersenyum.
Elusan familiar di punggungku mendadak membuatku tersentak. Tubuhku menegang. Aku pikir itu cuma halusinasi...
Tapi saat aku menoleh, kamu ada. Saat aku menyentuhmu, kamu nyata.
Aku mulai menangis.
Kamu mengelus lembut punggungku, menenangkanku dengan kata-katamu. Semua nyata. Aku menatapmu, dan kamu mengangguk, meyakinkanku bahwa kamu memang nyata.
Aku harap ini bukan halusinasi atau lebih menyedihkan lagi, mimpi.
Tapi kamu memelukku kemudian. Pelukan sahabat yang hangat, yang sangat nyata, membuatku yakin bahwa ini semua bukan mimpi.
Kamu melepas pelukanmu dan menghapus air mataku. Kamu mengelus rambutku, lalu punggungku seperti biasa. Menenangkanku.
Kamu kembali.
Aku menangis, kali ini sangat bahagia. Semua ucapanmu bukan omong kosong, kan? Meski ingkar janji, tapi kamu ada di sini sekarang.
Aku menangis, dan kamu mengelus punggungku menenangkanku, dengan hujan di atas kita.
Selesai.
Note:
Maaf baru sempat update sekarang ya. Belakangan sibuk sekali, tugas-tugas menggila dan berbagai presentasi menuntut untuk dikerjakan.
Sekali lagi maaf. Terimakasih sudah membaca, anyway.
Thank you so muach.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)