Selamat datang di Kumpulan Cerpen Remaja dan Anak! Silahkan mengunjungi satu per satu cerpen dari para penulis kami!
Bisa mulai ditelusuri dari Authors yang berisi profil kami, kemudian Become Author untuk mengirim karya atau pun menjadi penulis tetap. Melanjutkan atau malah langsung menuju Daftar Cerpen yang berisi cerpen terposting di blog lama maupun baru pun oke. Ada yang kurang? Tanyakan di Information. Berkelana sesuka hati saja, deh! Welcome!
Welcome to KCRdA weblog | take parcitipate with us | read stories | comment | send stories

Rabu, 14 Mei 2014

Drama yang Berakhir Tak Bahagia - Cerpen Remaja

Drama yang Berakhir Tak Bahagia
Diska Hanifa

Bukannya teman makan teman, tapi entah mengapa perasaan itu timbul begitu saja dalam hati tanpa bisa dicegah. Pertama kali aku mengenal Evan, aku langsung jatuh hati padanya. Ia memang tak seperti yang kubayangkan pada awalnya, tak seperti seorang pangeran dari negeri antah berantah yang tiba-tiba menemukan sang putri. Tidak. Dia hanyalah dia, dan karena dia yang seperti itu, yang sederhana dan apa adanya, aku menyayanginya.

Di tahun pertama, aku semakin mengenalnya, aku akhirnya menjadi teman dekatnya. Dan terungkap sebuah rahasia besar. Ternyata salah satu sahabatku, Rena, sama-sama menyukainya. Lantas apa yang kuperbuat? Aku diam menunggu, terpojokkan dan mencoba menjadi seorang narator yang membuat cerita drama, dengan Rena dan Evan sebagai pemeran utamanya. Aku mencoba menciptakan ceritaku sendiri, menyutradarainya dengan imajinasiku sendiri.

Aku tidak sedih ataupun bahagia. Memang, perasaanku pada Evan hanya samar. Karena itu, selama tahun-tahun berikutnya aku menganggapnya sebatas teman. Sedangkan hubungan mereka – Rena dan Evan – semakin erat. Aku tidak cemburu ataupun marah kepada sahabatku. Memang, aku telah mengetahui cerita sebenarnya yang terjadi, mengapa Rena juga menyayanginya.

Sebelum aku hadir di kehidupannya, ternyata dia sudah lebih dulu mengenal Rena. Dan sekarang, mereka belum terikat suatu hubungan apapun. Dia berbeda agama dengan Rena, begitu juga denganku. Apapun yang terjadi, Rena tak bisa melanjutkan hubungannya lagi dengannya. Saat itulah baru aku ikut bersedih. Karena aku juga bisa merasakan kesedihan sahabatku itu, sekaligus kesedihanku sendiri yang bercampur menjadi satu.

Setahun kemudian, kami sama-sama melupakan perasaan masing-masing, dan kami akhirnya menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri.

Aku pun menyayangi orang lain. Evan, meskipun telah memiliki yang lain, tapi aku tahu bahwa hatinya masih untuk Rena. Sedangkan Rena sendiri meskipun telah kembali menampakkan senyumnya, tetapi ternyata dia belum juga bisa bangun dari semua mimpi-mimpinya dengan Evan.

Aku merenungkan diriku sendiri, apa benar aku menyayangi orang lain itu?

Setelah berbulan-bulan aku mencari jawaban, ternyata selama ini, hanya Evan-lah, laki-laki yang telah menjadi teman dekatku dan orang yang disayangi sahabatku, yang benar-benar kusayangi.

Aku bingung, dan sampai sekarang tak pernah ada yang tahu perasaanku yang sebenarnya kepadanya. Semua orang mengira hubunganku dengannya hanya sebatas ‘teman dekat’. Lagipula, aku sadar. Jika saja ada orang yang mengetahui perasaanku ini, aku akan merasa sangat bersalah dan hancur. Aku pasti akan disalahkan, dan aku akan kehilangan Rena.

Tak ada yang tahu. Semua hanya kupendam sendiri. Merasakan kepedihan karena terjebak suatu cerita yang bahkan aku tak sempat menyangkanya. Bagaimanapun, Rena-lah yang lebih dulu menyayanginya. Dan begitu juga sebaliknya. Mata Evan selalu mengatakan ‘suka’ setiap kali memandang Rena. Meskipun keduanya kini sudah berjauhan dan saling menjaga jarak.

Tahun ini, menjadi tahun yang paling membingunkan sepanjang hidupku. Aku kembali melihat ada sorot hangat yang dipancarkan oleh Evan untukku. Aku selalu melewatkan waktu dengannya. Bersamanya aku tenang dan bisa tertawa. Dialah yang menjadi lentera dalam hidupku. Dia sendiri juga terlihat bahagia jika berada di dekatku. Entah bagaimana perasaannya yang sesungguhnya terhadapku. Bisa jadi dia menganggapku sebatas teman dekat juga, atau mungkin lebih.

Tapi aku takut. Ternyata juga dia memberikan sorot hangatnya itu bukan untukku saja. Rena kini terlihat lebih ceria dari biasanya, karena Evan juga memberikan sorot hangat itu untuknya.

Dalam semua kisahnya, Rena bercerita bahwa sepertinya Evan mencoba mengembalikan kenangan-kenangan indah mereka di tahun pertama. Bahwa sepertinya bunga mereka mekar kembali.

Aku menangis.

Aku bingung.

Aku sedih.

Aku kembali dihadapkan pada cerita pahit itu. Aku kembali diharuskan untuk menunggu. Aku tak ingin menyakiti siapapun. Hingga akhirnya, aku memantapkan hatiku bahwa aku memang benar-benar menyayangi Evan, yang juga disayangi oleh sahabatku.

Detik-detik terakhir menjelang kelulusan, aku memberanikan diri untuk menyampaikan perasaanku padanya. Hanya kami berdua yang tahu. Wajahnya terlihat sedih saat aku mengatakan semuanya. Aku terisak dan dia mendekapku.

Perasaanku waktu itu campur aduk. Lega karena bebanku telah terangkat. Senang, karena meskipun sedikit dan samar dia mengatakan bahwa sebenarnya dia juga merasakan perasaan yang lain selain sayang sebagai teman terhadapku. Sedih, karena aku tak akan bisa bersamanya. Takut, karena bila sahabatku tahu tentang ini, aku akan kehilangan dia.

Jantungku tersentak. Ketika dari balik bahu Evan, kulihat Rena menangis melihat kami berdua.

Segera kulepaskan tangan-tangan yang merengkuhku. Sambil terus terisak, kutegaskan bahwa meskipun aku menyayanginya dan sepertinya dia juga menyayangiku, tetapi aku tak bisa dengannya. Aku terlalu menjunjung tinggi persahabatanku. Aku berlari menjauh, berbalik mengejar sahabatku yang terlanjur terluka karenaku.

Saat kutemukan, Rena sedang menangis. Kucoba untuk memanggil namanya. Tiba-tiba satu tamparan keras menghantam pipiku. Masih dengan sisa-sisa air mata, aku menatapnya penuh rasa sesal dan bersalah.

Ini semua terlanjur terjadi. Siapa yang tahu jika jadinya seperti ini. Siapa yang tahu bahwa akhirnya aku juga menyayangi orang yang juga disayangi sahabatku. Siapa yang tahu?

Kini, aku tak pernah lagi bertemu dengan kedua orang itu. Evan dan Rena. Aku terlalu malu untuk sekedar menatap mata mereka. Dan sampai saat ini juga, hatiku masih terasa sakit saat kuingat cerita drama itu berakhir tak bahagia.

Air mataku menetes lagi, di depan sekolah kami, yang menjadi saksi bisu semua kenangan-kenangan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)