Karya R
Prolog.
Prologue.
“Lean!”
Lean yang sedang membuka pintu kamarnya berbalik malas. “Apa, ma?”
“Nilai kamu turun lagi?”
“Aku masih peringkat satu, ma.” jawab Lean datar.
“Kenapa kamu ngga kayak kakakmu?”
Mata Lean mendadak memancarkan sinar tajam. “Kenapa aku harus kayak Leon?”
“Kalian kembar, Lean!”
“Lalu kalau kembar apakah harus sama?” Lean menatap ibunya tajam. “Apa aku harus sama dengan Leon? Cukup wajahku saja yang sama dengannya, aku ngga mau sama kayak dia!”
“Kenapa?” Ibu Lean, Jennifer, mengerutkan kening. “Leon penurut, pintar dan selalu juara. Kenapa kamu ngga mau kayak dia?”
Lean menatap tajam. “Jadi menurut mama? Selama ini aku apa? Aku nurutin mama, aku juga peringkat satu di kelasku, dan aku selalu menyabet gelar juara dia lomba yang kuikuti! Apa sih yang mama mau sebenarnya?”
“Kamu ngga sopan sama mama, Lean! Beda dengan Leon yang selalu sopan.”
Lean melotot. “Aku ngga SOPAN? Ini pertama kalinya aku memprotes tindakan mama! Mama selalu membanding-bandngkanku dengan Leon. Mama pikir aku apa? Robot yang dibentuk untuk menyamai robot lain? Leon pernah bersikap berkali-kali lebih kurang ajar dariku, tapi mama bahkan ngga sekedar menegurnya!”
“Kamu selalu membuat masalah,”
“Jadi Leon ngga pernah, begitu? Apa masalah yang pernah kubuat? Berkelahi? Aku ngga pernah melakukannya, malah Leon yang pernah dan bukannya memarahinya mama malah mengobatinya dengan penuh kasih sayang. Intinya, mama cuma mau nyari perbedaan aku sama Leon aja kan? Mungkin mama benci banget sama aku sehingga mau mendepakku dari rumah ini.”
Jennifer melotot. “JAGA MULUTMU, LEAN!” bentaknya marah.
Lean tersenyum sinis. “Aku hampir selalu menjaga mulutku. Mungkin mama mau bilang aku sebaiknya pergi dari rumah ini, begitu? Supaya tidak ada yang menyaingi anak kesayanganmu itu.”
“LEAN!”
Lean masih mengunggingkan senyum sinisnya, berbalik dan masuk ke kamarnya.
Leon mengelus rambut sebahu adik kecilnya. Sejak adiknya lahir, dia sangat menyayangi adik perempuannya yang satu ini.
"Ka... Le.. on..."
"Hmm?" senyum Leon.
"Kak... kak... Le... an... Ca... pek?"
Mendadak hati Leon dicekam rasa bersalah yang amat sangat.
Dia tahu dia telah menghalangi sinar Lean untuk bersinar. Orangtuanya lebih memperhatikannya, Leon merasakannya, dan dia tahu kenapa.
Dia merasa sangat bersalah pada adik kembarnya. Karena dia, adik kembarnya harus merasa lelah hanya demi membuat orangtua mereka terkesan. Seharusnya tak ada yang tak menyadari itu, adik perempuannya yang masih secilik itu saja tahu bahwa salah satu kakaknya lelah dan tertekan.
Bukannya dia tak menyadari orangtuanya sudah sangat kelewatan. tapi apa yang bisa dia lakukan? Setiap kali ia mencoba menegur orangtuanya, orangtuanya hanya berkata, "Fokus pada keadaanmu sendiri, Leon." Leon benar-benar kesal, karena dia dapat merasakan saat adik kembarnya merasa sakit hati.
Bagaimanapun, mereka saudara. Kembar, lagi. Jadi saat adik kembarnya begitu kecewa, Leon bisa merasakannya juga. Itu juga mempengaruhi dirinya, sebenarnya.
Yah, hal itu baru saja itu terjadi.
"Leon!"
Suara ibunya dari luar kamar membuat Leon menoleh. Jennifer sedang berdiri di ambang pintu, melipat lengan di depan dada. Ibunya memang begitu angkuh, dia tipe wanita pekerja kantoran yang tidak bisa diam di rumah.
"Ada apa, ma?"
"Kamu sudah..."
"Sudah," sambar Leon cepat. Dia tahu apa yang akan ditanyakan ibunya.
"Bagus," jawab Jennifer. "Di mana kamu simpan rapor-mu?"
"Di meja belajar."
"Baiklah." angguk ibunya. "Nanti mama periksa dan kita lihat kamu bisa masuk ke..."
"Ma," potong Leon.
"Ya?"
"Mama mengatakan apa pada Lean tadi?"
Jennifer terdiam.
"Jangan terlalu keras padanya, Ma,"
Jennifer berlalu dari kamar Leon tanpa mengatakan apa-apa.
Bersambung...
"Ka... Le.. on..."
"Hmm?" senyum Leon.
"Kak... kak... Le... an... Ca... pek?"
Mendadak hati Leon dicekam rasa bersalah yang amat sangat.
Dia tahu dia telah menghalangi sinar Lean untuk bersinar. Orangtuanya lebih memperhatikannya, Leon merasakannya, dan dia tahu kenapa.
Dia merasa sangat bersalah pada adik kembarnya. Karena dia, adik kembarnya harus merasa lelah hanya demi membuat orangtua mereka terkesan. Seharusnya tak ada yang tak menyadari itu, adik perempuannya yang masih secilik itu saja tahu bahwa salah satu kakaknya lelah dan tertekan.
Bukannya dia tak menyadari orangtuanya sudah sangat kelewatan. tapi apa yang bisa dia lakukan? Setiap kali ia mencoba menegur orangtuanya, orangtuanya hanya berkata, "Fokus pada keadaanmu sendiri, Leon." Leon benar-benar kesal, karena dia dapat merasakan saat adik kembarnya merasa sakit hati.
Bagaimanapun, mereka saudara. Kembar, lagi. Jadi saat adik kembarnya begitu kecewa, Leon bisa merasakannya juga. Itu juga mempengaruhi dirinya, sebenarnya.
Yah, hal itu baru saja itu terjadi.
"Leon!"
Suara ibunya dari luar kamar membuat Leon menoleh. Jennifer sedang berdiri di ambang pintu, melipat lengan di depan dada. Ibunya memang begitu angkuh, dia tipe wanita pekerja kantoran yang tidak bisa diam di rumah.
"Ada apa, ma?"
"Kamu sudah..."
"Sudah," sambar Leon cepat. Dia tahu apa yang akan ditanyakan ibunya.
"Bagus," jawab Jennifer. "Di mana kamu simpan rapor-mu?"
"Di meja belajar."
"Baiklah." angguk ibunya. "Nanti mama periksa dan kita lihat kamu bisa masuk ke..."
"Ma," potong Leon.
"Ya?"
"Mama mengatakan apa pada Lean tadi?"
Jennifer terdiam.
"Jangan terlalu keras padanya, Ma,"
Jennifer berlalu dari kamar Leon tanpa mengatakan apa-apa.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biarkan kami tahu kamu di sana... ;)